Judul Asli : NIGHT
A Holocaust Story by Elie
Wiesel
Copyright © 1958
by Les Éditions de Minuit
Penerbit Esensi
Alih Bahasa : Alamanda
Christian
Editor : Marina Sofyan, S.S.
& Theresia Vini S.,S.E.
Cover by Rasuardie
Cetakan I : 21 Juli 2006 ; 408
hlm
[ source ] |
Sebagai penggemar kisah
sejarah, maka berbagai kisah tentang peperangan akan selalu menjadi topik yang
tak mudah dilepaskan dari rangkaian kisah-kisah ini. Namun salah satu
peperangan yang paling banyak mengundang rasa ‘ngeri’ baik melalui buku maupun dokumentasi film adalah peran Nazi
dalam membantai kaum Yahudi. Kisah-kisah para korban maupun mereka yang
berhasil ‘selamat’ untuk memberitakan hal ini kepada dunia, selalu saja
mengundang tanda tanya bagi diriku, bagaimana mungkin sesama manusia mampu bertindak
dengan kesadaran penuh, bahwa penyiksaan dan pemusnahan manusia, adalah sesuatu
yang dibenarkan.
[ source ] |
Salah satu kisah yang sempat
menarik perhatianku, ketika Elie Wiesel diundang dalam acara talk-show Oprah
Winfrey’s Show beberapa tahun silam, disertai dengan napak tilas beliau sebagai
salah satu ‘holocaust survival’
mengunjungi Auschwitz, bahkan Oprah yang saat itu turut bersama beliau mampu
merasakan hantu-hantu para korban
yang dibinasakan dengan alasan pembentukan suatu Ras bangsa yang lebih
sempurna. Banyak orang menganggap Elie sebagai salah satu yang terselamatkan,
akan sangat bersyukur karena terhindar dari kematian, tetapi membaca salah satu
memoar yang sengaja ditulisnya ini, mau tak mau diriku merasa sangat iba dengan
penderitaan yang harus diterimanya. Karena selama beliau hidup, bayang-bayang
kelam tak kan pernah hilang dari benaknya...dan inilah salah satu alasan
mengapa beliau menuangkan semuanya lewat tulisan berjudul “Night : A Holocaust Story”.
Jika Dalam Kehidupan Ini, saya hanya diberi kesempatan untuk menulis satu buku saja, buku inilah yang akan saya tulis. Kenapa saya menuliskannya ? Apakah agar saya tidak terseret dalam kegilaan, ataukah justru sebaliknya ? Agar terseret dalam kegilaan karena berusaha memahami sifat dasar dari ketidakwarasan itu sendiri ? Kegilaan yang teramat sangat menakutkan yang telah menyeruak dalam sejarah dan suara hati manusia ? Akankah mengungkapkannya dalam kata, atau menorehkannya di ingatan, mampu mencegah sejarah kelam agar tak terulang ?[ from an Introduction by Elie Wiesel at Night : A Holocaust Story ]
Elie at age 15 [ source ] |
Elie baru berusia 13 tahun pada
tahun 1941 ketika ia bertemu dengan Moishe – si Pengurus Rumah Ibadah di kota
Sighet, Transylvania, yang kemudian menjadi pembimbing rohani pemuda yang haus
akan pembelajaran rohani, bersama-sama mereka mencari tahu dan memahami rahasia
Kabbalah. Sang ayah, yang sangat berdedikasi pada panggilan hidupnya, sebagai
konsultan kaum Yahudi, seringkali tidak hadir dalam keluarganya sendiri karena
sibuk membantu keluarga lain yang membutuhkan. Ibunya, wanita soleh yang
mengabdi pada keluarga, membantu suaminya mengurus toko bersama kedua putrinya
Hilda dan Bea, dengan si bungsu Tzipora, sedangkan Elie, satu-satu putra
keluarga, memiliki keleluasan dalam mengisi waktu luangnya, yang diisinya
dengan memperdalam pengetahuan keagamaan.
Kemudian muncul berbagai
kejadian yang akan merubah kehidupan kaum Yahudi di Signet. Dimulai dari
pengusiran pihak Hongaria terhadap kaum pendatang dari Signet, termasuk Moishe
yang seorang imigran. Beberapa bulan
berlalu, entah dari mana Moishe muncul kembali, dalam kondisi yang sama sekali
berbeda. Dan yang menyebabkan banyak orang memilih menghindari dirinya serta
menganggapnya gila, karena ia membawa cerita aneh tentang pembantaian dan
pembakaran semua rombongan yang terusir oleh tentara Gestapo. Tiada satu pun
yang mau mendengarkan, apalagi mempercayai kisahnya. Saat itu menjelang akhir
tahun 1942. Hingga pertengahan tahun 1944, berbagai berita tentang kekalahan
Jerman menyeruak, memberikan harapan bagi kaum Yahudi.
“Hitler takkan mampu menyakiti kita meskipun dia bermaksud demikian ... Membinasakan seluruh etnis ? Menghapuskan penduduk yang sudah menyebar ke berbagai bangsa ? Orang Yahudi begitu banyak ! Dengan apa ia akan melenyapkan kami ? Di pertengahan abad ke-20 ini !”
Dalam kurun waktu beberapa
hari, tentara Jerman memasuki kota, seminggu setelah Paskah, perintah-perintah
baru dipasang, mulai dari tanda bintang kuning yang wajib dikenakan oleh semua
kaum Yahudi, dan pembentukan kampung ghetto bagi mereka semua, di mana
masing-masing harus mematuhi berbagai peraturan yang berlaku, jam malam, tidak
boleh ada pertemuan dimana pun dan kapan saja, termasuk ibadat bersama. Semua
menunggu hingga tiba waktunya. Dan ketika saatnya tiba, semua kaum Yahudi di
penampungan harus pergi, meninggalkan semua harta benda miliknya (jika ketahuan
masih membawa atau menyembunyikan harta benda, terutama emas, maka seketika
akan dibunuh), berjalan kaki menuju suatu penampungan lain, tempat sementara
sebelum mereka semua diangkut ke tujuan utama.
"The Selection" : Left Row gets into slave labor, Right Row gets into gas chamber [ source ] |
Kemudian mereka dipaksa
memasuki gerbong-gerbong kereta api, satu gerbong berisikan 80-100 orang, yang
harus berhimpitan, bertumpukan, tanpa ada tempat untuk sekedar duduk atau
berbaring. Gerbong-gerbong yang ditutup rapat dan ditempuh dalam waktu beberapa
hari, tanpa makanan maupun minuman. Dan ketika akhirnya mereka tiba di tujuan,
suatu tempat yang bernama Auschwitz, gerbong yang ditempati Elie sekeluarga
hanya ada sekitar 12 orang yang bertahan hidup. Belum sempat mereka bernafas
lega, kaum pria dan wanita langsung dipisahkan di tempat (dan itu adalah saat
terakhir bagi bocah Elie melihat ibu serta saudara-saudara perempuannya), dan
seleksi masih berlanjut, yang terlalu muda dan terlau tua akan langsung dikirim
ke tempat pembakaran. Yang dianggap cukup kuat dan memiliki keahlian khusus,
akan masuk ke dalam kamp konsentrasi kerja paksa. Dan semenjak itu, ia tak
memiliki nama atau identitas diri, hanya dikenal dan disebut sebagai A-7713,
bocah berusia 15 tahun yang harus berbohong, mengatakan usianya 18 tahun agar
selamat dari pembakaran.
Dengan narasi yang sangat
gamblang, Elie menuturkan sudut pandang kisah ini dari mata seorang bocah
berusia 13 -14 tahun, bagaimana dirinya yang kuat, bersemangat dan mengabdikan
diri serta keyakinan pada agama serta Tuhan yang Esa. Namun kenyataan memaksa
dirinya harus menyaksikan pembantaian bayi-bayi yang dilempar ke tempat
pembakaran. Atau tubuh-tubuh yang dilontarkan hanya sebagai permainan
‘tembak-sasaran’. Bagaimana para serdadu melihat para tawanan berebutan
sepotong roti yang sengaja dilemparkan demi kesenangan menyaksikan mereka semua
saling bunuh demi memperebutkan sesuatu yang tak akan mereka peroleh. Bahkan
kenangan ini, kembali membayang di benaknya beberapa tahun kemudian ketika ia menyaksikan
seorang wanita kaya dari Paris, menikmati pertunjukan dengan melemparkan koin
dari atas kapal untuk diperebutkan oleh penduduk asli ...
"all the victims that choose to be terminated" [ source ] |
Elie memberikan suatu hal yang
tak mudah dilupakan. Bukan hanya penyiksaan secara fisik yang membuat penderitaan
para tawanan ini menjadi tak tertahankan, tetapi perampasan hak serta identitas
diri mereka sebagai seorang manusia yang membuat pengharapan serta keinginan
hilang dari manusia-manusia yang taat terhadap keyakinan serta ritual mereka.
Sebagai seorang bocah yang seumur hidupnya meyakini bahwa Allah yang Esa akan
menyelamatkan mereka yang setia padaNya, harus mengecap kepedihan serta
kepahitan, bahwa nampaknya Setan telah menang di dunia yang ia tinggali. Tidak
mungkin ada Allah yang tega membiarkan ribuan nyawa manusia tewas dalam
pembantaian tiada akhir. Dimana keadilan
“Untuk pertama kalinya , aku merasa amarah muncul dalam diriku. Mengapa aku harus mengagungkan nama-Nya ? Yang Maha Agung, Penguasa Semesta yang abadi dan jahat, yang memilih untuk diam. Mengapa kami harus mengucap syukur pada-Nya ?”[ "Night" by Elie Wiesel | p. 49 ]
[ source ] |
Propaganda serta cuci-otak yang
diterapkan oleh Nazi terhadap para tahanan di kamp konsentrasi, membuat mereka
kehilangan rasa manusiawi. Yang lemah langsung menyerah, memilih kematian
daripada rasa tersiksa lebih lama. Yang kuat terpecah antara tetap bertahan
pada keyakinan mereka atau berbalik mengikuti kehendak Nazi, menghujat Allah
serta menjadi sekutu mereka, turut berperan serta dalam menyiksa anggota
keluarga mereka sendiri dalam kamp konsentrasi. Sebagai seorang pemuda yang
memiliki kekuatan tekad melebihi fisiknya, acapkalai Elie pun tergoda dengan
pikiran untuk meninggalkan ayahnya, yang semakin tua dan lemah, menjadi beban
bagi dirinya. Dan pada saat-saat itulah, ia berdoa hanya memohon kekuatan untuk
tidak menjadi putra yang durhaka terhadap satu-satunya anggota keluarga yang
masih ada disisinya.
Membaca buku yang tidak
terlampau tebal ini, namun penuh dengan berbagai narasi yang indah, sekaligus
mencekam, diungkapkan tanpa tedeng aling-aling, Elie Wiesel melucuti setiap
sudut pikiran tergelap manusia yang
putus asa dan kehilangan harapan melalui kisah perjalanan hidupnya. Sebagaimana
kata pengantar yang ia tulis dalam edisi yang diperbaharui ini, tujuan utama
penulisan buku ini bukan semata untuk membebaskan pikirannya yang tersiksa,
tetapi juga membeberkan pada dunia agar tak pernah melupakan peristiwa ini
dalam sejarah kehidupan manusia. Bukan untuk pembalasan dendam, tetapi sebagai
Pengingat agar tiada lagi peperangan, pembantaian, pemusnahan umat manusia di
dunia ini dengan alasan apa pun.
Takkan pernah kulupakan malam itu, malam pertama di kamp yang mengubah hidupku menjadi malam panjang bersegel tujuh.Takkan pernah kulupakan asap itu.Takkan pernah kulupakan wajah-wajah mungil anak-anak yang tubuhnya menjelma menjadi asap di bawah langit yang bisu.Takkan pernah kulupakan kobaran api yang telah menelan keyakinanku selamanya.Takkan pernah kulupakan bisunya malam yang mencabut hasrat hidupku sepanjang masa.Takkan pernah kulupakan saat-saat yang telah membunuh Tuhanku dan jiwaku, serta mengubah impianku menjadi abu.Takkan pernah aku lupakan semuanya itu, bahkan bila aku dikutuk untuk terus hidup sepanjang umur Tuhan.Takkan pernah.
[ source ] |
Elie
Wiesel, (30 September 1928) adalah
penulis lebih dari 40 karya fiksi dan non fiksi, yang banyak mengundang
tanggapan pembaca Internasional. Beliau memperoleh anugerah the Presidential
Medal of Freedom, the United States of America Congressional Gold Medal, the French
Legion of Honor, serta Nobel Peace Prize di tahun 1986, berkat peran aktif
beliau dalam kampanye Perdamaian dan Perjuangan Hak Asasi Manusia, meskipun
derita akibat Holocaust selalu membayanginya. Beliau juga mendapat penghargaan
Profesor Andrew W. Mellon dalam bidang humaniora, dan menjabat sebagai profesor
di University of Boston.
[ source ] |
Perjuangan beliau bukan hanya
dalam mengingat kembali kenangan serta mimpi buruknya, menuliskannya dalam
sebuah buku yang semula berbahasa Yiddi (bagian dari Germania yang menggunakan
huruf Ibrani, dengan kosakata campuran antara bahasa Jerman, Ibrani, dan
Slavia) dengan judul “Un
di Velt Hot Geshvign” (Dan
Dunia Tetap Bungkam), namun juga dalam mencari penerbit yang
bersedia menerima naskah ini. Semua penerbit di Amerika, Inggris menolak untuk
menerbitkan kisah yang dianggap kontroversial dan tidak akan laku. Ketika
akhirnya ada yang bersedia menerbitkan dalam edisi bahasa Perancis, hasilnya
sesuai dugaan tidak mendapat respons yang bagus di pasaran.
Hingga François Mauriac –
seorang penulis besar Prancis, pemeluk Katolik serta penyair peraih Nobel,
melihat kembali dan berusaha meyakinkan Elie untuk me-revisi dan menerbitkan
ulang naskahnya. Beliau turut memperjuangkan penerbitan naskah ini dan
menggandeng Jérôme Lindon – kepala penerbitan Editions de Minuit yang disegani
oleh khalayak penerbitan, hingga akhirnya keluarlah edisi terbaru buku dengan
judul “Night : A Holocaust Story”. Elie yang pada awalnya tidak memahami bahasa
Inggris, mempelajari bahasa ini dengan bantuan istrinya Marion Wiesel, mampu
melihat banyak kekurangan dan bagian yang tak tersampaikan sesuai kenyataan
dalam terbitan pertama. Dan melalui edisi terbaru yang bukan hanya di-revisi
tetapi disertai tambahan serta buah pikiran Elie dalam proses pengerjaan naskah
ini, memberikan kesempatan kedua bagi Elie untuk ‘berbagi’ pada dunia, beban
serta tanggung jawab yang ia pikul sebagai salah satu yang Terselamatkan dari
Neraka Holocaust.
“Pada mulanya ada keyakinan, yang kekanak-kanakan, rasa percaya, yang sia-sia belaka; dan ilusi, yang membahayakan. Kami meyakini Tuhan, memercayai manusia, dan tinggal bersama ilusi bahwa setiap kaum kami telah diwarisi percikan suci dari nyala api Sang Shekhinah ; mata dan jiwa kami membawa pantulan dari gambaran Tuhan. Keyakinan itu adalah sumber atai sebab segala siksa ini.”
[ main source : wikipedia.org.
]
Best Regards,
Sekarang banyak banget hisfic yang mengangkat sejarah Holocaust hanya saja negaranya yang berbeda-beda. Selain itu, juga ada pro dan kontra tentang kebenaran sejarah ini. Tapi yang pasti manarik mempelajari sejarah lewat fiksi
ReplyDeleteMasuk daftar wishlist