WELCOME

For everyone who love classical stories
from many centuries until millenium
with some great story-teller around the world
these is just some compilation of epic-stories
that I've read and loved so many times
... an everlasting stories and memories ...

Translate

Monday, November 12, 2012

Books "NIGHT"



Judul Asli : NIGHT
A Holocaust Story by Elie Wiesel
Copyright © 1958 by Les Éditions de Minuit
Penerbit Esensi
Alih Bahasa : Alamanda Christian
Editor : Marina Sofyan, S.S. & Theresia Vini S.,S.E.
Cover by Rasuardie
Cetakan I : 21 Juli 2006 ; 408 hlm 

[ source ]
Sebagai penggemar kisah sejarah, maka berbagai kisah tentang peperangan akan selalu menjadi topik yang tak mudah dilepaskan dari rangkaian kisah-kisah ini. Namun salah satu peperangan yang paling banyak mengundang rasa ‘ngeri’ baik melalui buku maupun dokumentasi film adalah peran Nazi dalam membantai kaum Yahudi. Kisah-kisah para korban maupun mereka yang berhasil ‘selamat’ untuk memberitakan hal ini kepada dunia, selalu saja mengundang tanda tanya bagi diriku, bagaimana mungkin sesama manusia mampu bertindak dengan kesadaran penuh, bahwa penyiksaan dan pemusnahan manusia, adalah sesuatu yang dibenarkan.

[ source ]
Salah satu kisah yang sempat menarik perhatianku, ketika Elie Wiesel diundang dalam acara talk-show Oprah Winfrey’s Show beberapa tahun silam, disertai dengan napak tilas beliau sebagai salah satu ‘holocaust survival’ mengunjungi Auschwitz, bahkan Oprah yang saat itu turut bersama beliau mampu merasakan hantu-hantu para korban yang dibinasakan dengan alasan pembentukan suatu Ras bangsa yang lebih sempurna. Banyak orang menganggap Elie sebagai salah satu yang terselamatkan, akan sangat bersyukur karena terhindar dari kematian, tetapi membaca salah satu memoar yang sengaja ditulisnya ini, mau tak mau diriku merasa sangat iba dengan penderitaan yang harus diterimanya. Karena selama beliau hidup, bayang-bayang kelam tak kan pernah hilang dari benaknya...dan inilah salah satu alasan mengapa beliau menuangkan semuanya lewat tulisan berjudul “Night : A Holocaust Story”.

Jika Dalam Kehidupan Ini, saya hanya diberi kesempatan untuk menulis satu buku saja, buku inilah yang akan saya tulis. Kenapa saya menuliskannya ? Apakah agar saya tidak terseret dalam kegilaan, ataukah justru sebaliknya ? Agar terseret dalam kegilaan karena berusaha memahami sifat dasar dari ketidakwarasan itu sendiri ? Kegilaan yang teramat sangat menakutkan yang telah menyeruak dalam sejarah dan suara hati manusia ? Akankah mengungkapkannya dalam kata, atau menorehkannya di ingatan, mampu mencegah sejarah kelam agar tak terulang ?
[ from an Introduction by Elie Wiesel at Night : A Holocaust Story ]

Elie at age 15 [ source ]
Elie baru berusia 13 tahun pada tahun 1941 ketika ia bertemu dengan Moishe – si Pengurus Rumah Ibadah di kota Sighet, Transylvania, yang kemudian menjadi pembimbing rohani pemuda yang haus akan pembelajaran rohani, bersama-sama mereka mencari tahu dan memahami rahasia Kabbalah. Sang ayah, yang sangat berdedikasi pada panggilan hidupnya, sebagai konsultan kaum Yahudi, seringkali tidak hadir dalam keluarganya sendiri karena sibuk membantu keluarga lain yang membutuhkan. Ibunya, wanita soleh yang mengabdi pada keluarga, membantu suaminya mengurus toko bersama kedua putrinya Hilda dan Bea, dengan si bungsu Tzipora, sedangkan Elie, satu-satu putra keluarga, memiliki keleluasan dalam mengisi waktu luangnya, yang diisinya dengan memperdalam pengetahuan keagamaan. 

Kemudian muncul berbagai kejadian yang akan merubah kehidupan kaum Yahudi di Signet. Dimulai dari pengusiran pihak Hongaria terhadap kaum pendatang dari Signet, termasuk Moishe yang seorang imigran.  Beberapa bulan berlalu, entah dari mana Moishe muncul kembali, dalam kondisi yang sama sekali berbeda. Dan yang menyebabkan banyak orang memilih menghindari dirinya serta menganggapnya gila, karena ia membawa cerita aneh tentang pembantaian dan pembakaran semua rombongan yang terusir oleh tentara Gestapo. Tiada satu pun yang mau mendengarkan, apalagi mempercayai kisahnya. Saat itu menjelang akhir tahun 1942. Hingga pertengahan tahun 1944, berbagai berita tentang kekalahan Jerman menyeruak, memberikan harapan bagi kaum Yahudi. 

“Hitler takkan mampu menyakiti kita meskipun dia bermaksud demikian ... Membinasakan  seluruh etnis ? Menghapuskan penduduk yang sudah menyebar ke berbagai bangsa ? Orang Yahudi begitu banyak ! Dengan apa ia akan melenyapkan kami ? Di pertengahan abad ke-20 ini !”

Dalam kurun waktu beberapa hari, tentara Jerman memasuki kota, seminggu setelah Paskah, perintah-perintah baru dipasang, mulai dari tanda bintang kuning yang wajib dikenakan oleh semua kaum Yahudi, dan pembentukan kampung ghetto bagi mereka semua, di mana masing-masing harus mematuhi berbagai peraturan yang berlaku, jam malam, tidak boleh ada pertemuan dimana pun dan kapan saja, termasuk ibadat bersama. Semua menunggu hingga tiba waktunya. Dan ketika saatnya tiba, semua kaum Yahudi di penampungan harus pergi, meninggalkan semua harta benda miliknya (jika ketahuan masih membawa atau menyembunyikan harta benda, terutama emas, maka seketika akan dibunuh), berjalan kaki menuju suatu penampungan lain, tempat sementara sebelum mereka semua diangkut ke tujuan utama. 

"The Selection" : Left Row gets into slave labor, Right Row gets into gas chamber [ source ]
Kemudian mereka dipaksa memasuki gerbong-gerbong kereta api, satu gerbong berisikan 80-100 orang, yang harus berhimpitan, bertumpukan, tanpa ada tempat untuk sekedar duduk atau berbaring. Gerbong-gerbong yang ditutup rapat dan ditempuh dalam waktu beberapa hari, tanpa makanan maupun minuman. Dan ketika akhirnya mereka tiba di tujuan, suatu tempat yang bernama Auschwitz, gerbong yang ditempati Elie sekeluarga hanya ada sekitar 12 orang yang bertahan hidup. Belum sempat mereka bernafas lega, kaum pria dan wanita langsung dipisahkan di tempat (dan itu adalah saat terakhir bagi bocah Elie melihat ibu serta saudara-saudara perempuannya), dan seleksi masih berlanjut, yang terlalu muda dan terlau tua akan langsung dikirim ke tempat pembakaran. Yang dianggap cukup kuat dan memiliki keahlian khusus, akan masuk ke dalam kamp konsentrasi kerja paksa. Dan semenjak itu, ia tak memiliki nama atau identitas diri, hanya dikenal dan disebut sebagai A-7713, bocah berusia 15 tahun yang harus berbohong, mengatakan usianya 18 tahun agar selamat dari pembakaran.  

Dengan narasi yang sangat gamblang, Elie menuturkan sudut pandang kisah ini dari mata seorang bocah berusia 13 -14 tahun, bagaimana dirinya yang kuat, bersemangat dan mengabdikan diri serta keyakinan pada agama serta Tuhan yang Esa. Namun kenyataan memaksa dirinya harus menyaksikan pembantaian bayi-bayi yang dilempar ke tempat pembakaran. Atau tubuh-tubuh yang dilontarkan hanya sebagai permainan ‘tembak-sasaran’. Bagaimana para serdadu melihat para tawanan berebutan sepotong roti yang sengaja dilemparkan demi kesenangan menyaksikan mereka semua saling bunuh demi memperebutkan sesuatu yang tak akan mereka peroleh. Bahkan kenangan ini, kembali membayang di benaknya beberapa tahun kemudian ketika ia menyaksikan seorang wanita kaya dari Paris, menikmati pertunjukan dengan melemparkan koin dari atas kapal untuk diperebutkan oleh penduduk asli ... 

"all the victims that choose to be terminated" [ source ]
Elie memberikan suatu hal yang tak mudah dilupakan. Bukan hanya penyiksaan secara fisik yang membuat penderitaan para tawanan ini menjadi tak tertahankan, tetapi perampasan hak serta identitas diri mereka sebagai seorang manusia yang membuat pengharapan serta keinginan hilang dari manusia-manusia yang taat terhadap keyakinan serta ritual mereka. Sebagai seorang bocah yang seumur hidupnya meyakini bahwa Allah yang Esa akan menyelamatkan mereka yang setia padaNya, harus mengecap kepedihan serta kepahitan, bahwa nampaknya Setan telah menang di dunia yang ia tinggali. Tidak mungkin ada Allah yang tega membiarkan ribuan nyawa manusia tewas dalam pembantaian tiada akhir. Dimana keadilan 

“Untuk pertama kalinya , aku merasa amarah  muncul dalam diriku. Mengapa aku harus mengagungkan  nama-Nya ? Yang Maha Agung, Penguasa Semesta yang abadi dan jahat, yang memilih untuk diam. Mengapa kami harus  mengucap syukur pada-Nya ?” 
[ "Night" by Elie Wiesel | p. 49 ]

[ source ]
Propaganda serta cuci-otak yang diterapkan oleh Nazi terhadap para tahanan di kamp konsentrasi, membuat mereka kehilangan rasa manusiawi. Yang lemah langsung menyerah, memilih kematian daripada rasa tersiksa lebih lama. Yang kuat terpecah antara tetap bertahan pada keyakinan mereka atau berbalik mengikuti kehendak Nazi, menghujat Allah serta menjadi sekutu mereka, turut berperan serta dalam menyiksa anggota keluarga mereka sendiri dalam kamp konsentrasi. Sebagai seorang pemuda yang memiliki kekuatan tekad melebihi fisiknya, acapkalai Elie pun tergoda dengan pikiran untuk meninggalkan ayahnya, yang semakin tua dan lemah, menjadi beban bagi dirinya. Dan pada saat-saat itulah, ia berdoa hanya memohon kekuatan untuk tidak menjadi putra yang durhaka terhadap satu-satunya anggota keluarga yang masih ada disisinya.  

Membaca buku yang tidak terlampau tebal ini, namun penuh dengan berbagai narasi yang indah, sekaligus mencekam, diungkapkan tanpa tedeng aling-aling, Elie Wiesel melucuti setiap sudut  pikiran tergelap manusia yang putus asa dan kehilangan harapan melalui kisah perjalanan hidupnya. Sebagaimana kata pengantar yang ia tulis dalam edisi yang diperbaharui ini, tujuan utama penulisan buku ini bukan semata untuk membebaskan pikirannya yang tersiksa, tetapi juga membeberkan pada dunia agar tak pernah melupakan peristiwa ini dalam sejarah kehidupan manusia. Bukan untuk pembalasan dendam, tetapi sebagai Pengingat agar tiada lagi peperangan, pembantaian, pemusnahan umat manusia di dunia ini dengan alasan apa pun. 

Takkan pernah kulupakan malam itu, malam pertama di kamp yang mengubah hidupku menjadi malam panjang bersegel tujuh.
Takkan pernah kulupakan asap itu.
Takkan pernah kulupakan wajah-wajah mungil anak-anak yang tubuhnya menjelma menjadi asap di bawah langit yang bisu.
Takkan pernah kulupakan kobaran api yang telah menelan keyakinanku selamanya.
Takkan pernah kulupakan bisunya malam yang mencabut hasrat hidupku sepanjang masa.
Takkan pernah kulupakan saat-saat yang telah membunuh Tuhanku dan jiwaku, serta mengubah impianku menjadi abu.
Takkan pernah aku lupakan semuanya itu, bahkan bila aku dikutuk untuk terus hidup sepanjang umur Tuhan.
Takkan pernah.

[ source ]
Elie Wiesel, (30 September 1928) adalah penulis lebih dari 40 karya fiksi dan non fiksi, yang banyak mengundang tanggapan pembaca Internasional. Beliau memperoleh anugerah the Presidential Medal of Freedom, the United States of America Congressional Gold Medal, the French Legion of Honor, serta Nobel Peace Prize di tahun 1986, berkat peran aktif beliau dalam kampanye Perdamaian dan Perjuangan Hak Asasi Manusia, meskipun derita akibat Holocaust selalu membayanginya. Beliau juga mendapat penghargaan Profesor Andrew W. Mellon dalam bidang humaniora, dan menjabat sebagai profesor di University of Boston. 

[ source ]
Perjuangan beliau bukan hanya dalam mengingat kembali kenangan serta mimpi buruknya, menuliskannya dalam sebuah buku yang semula berbahasa Yiddi (bagian dari Germania yang menggunakan huruf Ibrani, dengan kosakata campuran antara bahasa Jerman, Ibrani, dan Slavia) dengan judul “Un di Velt Hot Geshvign” (Dan Dunia Tetap Bungkam), namun juga dalam mencari penerbit yang bersedia menerima naskah ini. Semua penerbit di Amerika, Inggris menolak untuk menerbitkan kisah yang dianggap kontroversial dan tidak akan laku. Ketika akhirnya ada yang bersedia menerbitkan dalam edisi bahasa Perancis, hasilnya sesuai dugaan tidak mendapat respons yang bagus di pasaran. 

Hingga François Mauriac – seorang penulis besar Prancis, pemeluk Katolik serta penyair peraih Nobel, melihat kembali dan berusaha meyakinkan Elie untuk me-revisi dan menerbitkan ulang naskahnya. Beliau turut memperjuangkan penerbitan naskah ini dan menggandeng Jérôme Lindon – kepala penerbitan Editions de Minuit yang disegani oleh khalayak penerbitan, hingga akhirnya keluarlah edisi terbaru buku dengan judul “Night : A Holocaust Story”. Elie yang pada awalnya tidak memahami bahasa Inggris, mempelajari bahasa ini dengan bantuan istrinya Marion Wiesel, mampu melihat banyak kekurangan dan bagian yang tak tersampaikan sesuai kenyataan dalam terbitan pertama. Dan melalui edisi terbaru yang bukan hanya di-revisi tetapi disertai tambahan serta buah pikiran Elie dalam proses pengerjaan naskah ini, memberikan kesempatan kedua bagi Elie untuk ‘berbagi’ pada dunia, beban serta tanggung jawab yang ia pikul sebagai salah satu yang Terselamatkan dari Neraka Holocaust. 

“Pada mulanya ada keyakinan, yang kekanak-kanakan, rasa percaya, yang sia-sia belaka; dan ilusi, yang membahayakan. Kami meyakini Tuhan, memercayai manusia, dan tinggal bersama ilusi bahwa setiap kaum kami telah diwarisi percikan suci dari nyala api Sang Shekhinah ; mata dan jiwa kami membawa pantulan dari gambaran Tuhan. Keyakinan itu adalah sumber atai sebab segala siksa ini.”

[ main source : wikipedia.org.  

Best Regards, 

1 comment :

  1. Sekarang banyak banget hisfic yang mengangkat sejarah Holocaust hanya saja negaranya yang berbeda-beda. Selain itu, juga ada pro dan kontra tentang kebenaran sejarah ini. Tapi yang pasti manarik mempelajari sejarah lewat fiksi

    Masuk daftar wishlist

    ReplyDelete