Judul Asli : AN ARTIST OF THE FLOATING WORLD
Copyright © by
Kazuo Ishiguro, 1986
Copyright ©
2010 Penerbit Elex Media Komputindo
Alih Bahasa :
Rahma Wulandari
ISBN : 978-602-02-0497-0
| 2013 | 226 hlm
[ Review in Indonesia & English
]
“Sebuah kebahagiaan mendalam yang muncul dari keyakinan bahwa perjuangan seseorang telah diakui ; bahwa kerja kerasnya telah membuahkan hasil, keraguannya terhapuskan, semuanya menjadi sepadan dan bernilai – inilah kisah tentang seseorang yang telah mencapai sesuatu yang bernilai dan memperoleh pengakuan.” [ p. 223 ]
Kehidupan
seorang manusia semenjak ia terlahir di dunia hingga tiba saatnya ia kembali ke
asalnya – merupakan perjalanan unik yang memiliki jejak serta warna yang
berbeda, antara satu dengan yang lain. Terlepas dari perbedaan ras, kondisi
lingkungan, status ekonomi dan sosial, masing-masing memiliki kesempatan yang
sama, yaitu menentukan sendiri pilihan akan jalan mana yang akan ditempuh dalam
menjalani hari demi hari. Namun yang sering terjadi, manusia tidak mau
meluangkan waktu untuk bersyukur atas kebahagiaan, kesenangan, kenyamanan,
kenikmatan dan kesuksesaan yang dialami. Bahkan acapkali senantiasa menuntut ‘hak’
diatas ‘kewajiban’ dan menyalahkan siapa saja atas kesalahan dan kegagalan yang
dialami, alih-alih berusaha menerima tanggung jawab atas diri sendiri.
[ source ] |
Kisah ini
adalah tentang sosok bernama Masuji Ono – putra pengusaha yang memilih jalan
hidupnya sendiri semenjak remaja, menentang mandat serta perintah orang tuanya,
terutama sang ayah yang menghendaki dirinya meneruskan usaha keluarga. Dengan
seting waktu sekitar tahun 1920-1950, bertepatan saat Jepang mengalami transisi
besar-besaran menjelang invasi terhadap RRC dan Perang Dunia II, hingga
reformasi setelah paska perang, kehidupan sosok Masuji Ono terlukiskan dalam 3
periode waktu yang berbeda-beda. Dibuka dengan saat pemuda ini menentukan
pilihan hidupnya untuk menekuni jiwa seninya sebagai pelukis, meninggalkan
keluarganya yang sama sekali tidak mendukung, karena seorang seniman dianggap
tidak memiliki martabat ataupun menjalani kehidupan yang cukup terhormat di
kalangan masyarakat umum.
Perjalanan
menempuh medan yang cukup berat, dijalani dengan penuh tekad, hingga pemuda ini
diterima ‘magang’ di tempat salah satu tokoh seniman ternama, setelah
sebelumnya ia terlunta-lunta demi mencari nafkah bagi dirinya sendiri sekaligus
berusaha mengembangkan keahliannya. Kehidupan
baru yang dijalani dengan semangat tinggi, berkumpul bersama sesama murid sang
Mahaguru, mengembangkan tehnik melukis dalam bimbingan sang Seniman. Tiada
kehidupan yang sepi dan sunyi selama ia bersama dengan para rekan dengan sang
pembimbing, menjalani pesta pora di malam hari, tertidur menjelang pagi,
melukis pada siang hari. Hingga pada suatu hari, sang pemuda mendapati dirinya ‘berubah’
dan memiliki hasrat yang sama sekali berbeda dengan kemauan sang guru.
Lukisannya berubah, karena jauh di dalam hati nuraninya, ia mulai menemukan
panggilan hatinya. Jika di awal ia ‘terusir’ dari keluarganya demi mencari jati
diri, kini ia kembali ‘terusir’ dari kediaman yang telah sekian lama
menerimanya, dianggap sebagai pengkhianat karena ia menuruti panggilan hati
daripada kemauan dan tuntutan sang guru.
[ source ] |
Sang pemuda
yang memiliki semangat berapi-api, menemukan cahaya baru di tengah pergolakan
menjelang masa peperangan antara Jepang dan Sekutu. Kampanye dan propaganda
menjadi agenda tersendiri yang dijalani dengan penuh keyakinan serta prinsip
yang kuat, tanpa disadari bahwa semua hal yang ia lakukan akan berimbas pada
kehidupannya di masa mendatang. Hingga ketika perang akhirnya usai dengan
kekalahan Jepang. Pemuda yang telah menjadi pria dewasa, menikah dan kehilangan
anggota keluarga tercinta semasa peperangan, menjalani masa-masa ketika ia
bukan lagi seorang murid melainkan guru bagi para pemuda yang haus akan
pengetahuan dan bimbingannya.
Dan segala
sesuatu dalam kehidupannya seakan berbalik, ketika ia mendapati berada pada
posisi serupa saat ia berhadapan dengan sang ayah untuk mempertahankan
Impiannya, ketika ia harus merelakan ‘dikeluarkan’ oleh sang Guru sekaligus
mentor karena Impiannya telah melebihi sang pembimbing – hanya kini ia berada
pada posisi yang berbeda, ia bukan lagi pemuda lugu yang memiliki semangat
menggelora. Kini ia adalah seorang ayah, seorang pembimbing, seorang mentor dan
tokoh yang disegani. Dulu ia bersekutu dengan gerombolan para pemberontak yang
menginginkan perubahan yang lebih baik pada Jepang. Kini ia tak yakin dengan
segala perubahan serta pengaruh dunia Barat yang merambah kehidupan masyarakat
Jepang. Bagaimana ia harus menghadapi kematian istri dan putra tunggalnya ?
Bagaimana ia mengatasi kegagalan pertunangan putrinya yang (mungkin) disebabkan
oleh status serta latar belakang dirinya ? Bagaimana ia berhadapan dengan murid
kesayangannya yang berbalik membenci karena ‘tindakan’ yang ia lakukan di masa
lalu ? Dan bagaimana ia mampu menjalani hari demi hari, menatap sisa-sisa
keindahan dan kejayaan peninggalan masa lalu, runtuh, habis menjadi abu yang
lenyap ditiup angin, digantikan sesuatu yang sama sekali baru ....
“Kami hidup selama ini nyaris sesuai dengan gaya hidup dan nilai-nilai yang diajarkannya, dan ini membutuhkan waktu panjang untuk mengeksporasi bagian dari ‘dunia awang-awang’ – dunia malam yang penuh kesenangan duniawi, hiburan dan minuman yang mewujud pada latar belakang seluruh lukisan karya kami.” [ p. 58 ]
‘An Artist of
the Floating World’ – menggambarkan kehidupan seniman pelukis Jepang pada era
menjelang abad ke-20, di mana sebagian besar para seniman besar mulai
menerapkan gaya para pelukis Eropa, hingga timbul perang berkepanjangan melawan
pihak Barat. Maka agenda para seniman ini bertambah dengan masuknya propaganda
serta kebijakan pemerintahan Jepang pada masa itu. Kebebasan mengekspresikan
pikiran serta jiwa ke dalam lukisan, sering kali harus ditebus dengan
penangkapan oleh pihak-pihak militer, ditahan dan acapkali disiksa karena
dianggap sebagai pengkhianat bangsa. Hal ini diperburuk dengan sikap
sewenang-wenang pejabat pemerintahan serta oknum-oknum yang memanfaatkan hal
tersebut untuk ‘menyingkirkan’ pihak-pihak yang tak disukai dengan dalih demi
keamanan negara.
“Aku telah belajar banyak hal selama beberapa tahun ini, terutama soal berkontemplasi tentang dunia hiburan dan mengenali keindahannya yang rapuh. Tapi, rasanya inilah saatnya melebarkan sayap ke hal-hal baru, karena aku yakin di masa-masa sulit seperti ini, seniman harus belajar menilai sesuatu yang lebih berwujud daripada hal-hal menyenangkan yang lenyap seiring fajar tiba. Seniman tidak perlu selalu identik dengan dunia yang tertutup dan moral yang rendah. Sensei, hati kecilku berkata aku tak bisa selamanya menjadi seniman di dunia awang-awang.” [ p. 197 ]
Dituturkan
dengan gaya penulisan melalui sudut pandang pihak pertama, sosok Masuji Ono
mampu membawa para pembaca untuk menelusuri jejak serta langkah-langkah yang
diambil dalam berbagai konflik di kehidupannya. Meski pada awal kisah berjalan
sedkit lambat dan berputar-putar antara masa silam dan masa terbaru, secara
perlahan, kita akan mendapat gambaran nyata, rahasia dibalik misteri yang
menyelimuti sejarah kehidupan Masuji Ono – yang tak pelak lagi juga
mencerminkan situasi serta kondisi masyarakat Jepang pada era tersebut. Yang
menarik, penulis memberikan garis batas yang cukup tegas menjelang akhir kisah,
tentang perenungan serta kontemplasi makna kehidupan, bahwa seharusnya tiada
penyesalan sedikit pun atas apa pun yang terjadi di masa lalu, baik atau buruk
semuanya memberikan ‘warna’ tersendiri yang menghidupkan ‘lukisan’ diri kita
masing-masing.
“Setidaknya kita bertindak sesuai dengan keyakinan kita dan melakukan yang terbaik sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.”
Conclusion :
As usual, Kazuo
Ishiguro write this story with his unique style, approaching the audience by
retelling the journey of its character, using narrator as weel as the main
character. Sets during the fall of Japan’s Empire, when they caught between the
confrontation with Cina, and also during World War II, the subject are Masuji
Ono – an artist who struggle on the way to seek-out his identity and his
dreams. Aside the situation and political agenda, we will be ask about the
choices on our lives, ‘cause anything in the past would be appears in the
future, whether we like it or not. But by putting all the falls and rise
between past life, present and future, the author also gave such tremendous
pressure (at first) on how we will punished by our own choices and how we will
take the path ... and the end, there’s a slight confusion as well a relieves
that ‘remorse’ only makes a pile of wall on our lives. Acceptance and honor our
self its the main key to reach happiness.
[ more about
the author, books and his related adaptations, check at here : Kazuo Ishiguro |
An Artist of the Floating World | Adaptations ]
Best Regards,
wuah, reviewnya dalem bgt, beda sama punya :") *jempol sepuluh buat mbak maria *tepoktangan*
ReplyDeletealurnya lambat, bikin aq mood2tan bacanya *dijitak*