WELCOME

For everyone who love classical stories
from many centuries until millenium
with some great story-teller around the world
these is just some compilation of epic-stories
that I've read and loved so many times
... an everlasting stories and memories ...

Translate

Showing posts with label Esensi. Show all posts
Showing posts with label Esensi. Show all posts

Monday, November 12, 2012

Books "NIGHT"



Judul Asli : NIGHT
A Holocaust Story by Elie Wiesel
Copyright © 1958 by Les Éditions de Minuit
Penerbit Esensi
Alih Bahasa : Alamanda Christian
Editor : Marina Sofyan, S.S. & Theresia Vini S.,S.E.
Cover by Rasuardie
Cetakan I : 21 Juli 2006 ; 408 hlm 

[ source ]
Sebagai penggemar kisah sejarah, maka berbagai kisah tentang peperangan akan selalu menjadi topik yang tak mudah dilepaskan dari rangkaian kisah-kisah ini. Namun salah satu peperangan yang paling banyak mengundang rasa ‘ngeri’ baik melalui buku maupun dokumentasi film adalah peran Nazi dalam membantai kaum Yahudi. Kisah-kisah para korban maupun mereka yang berhasil ‘selamat’ untuk memberitakan hal ini kepada dunia, selalu saja mengundang tanda tanya bagi diriku, bagaimana mungkin sesama manusia mampu bertindak dengan kesadaran penuh, bahwa penyiksaan dan pemusnahan manusia, adalah sesuatu yang dibenarkan.

[ source ]
Salah satu kisah yang sempat menarik perhatianku, ketika Elie Wiesel diundang dalam acara talk-show Oprah Winfrey’s Show beberapa tahun silam, disertai dengan napak tilas beliau sebagai salah satu ‘holocaust survival’ mengunjungi Auschwitz, bahkan Oprah yang saat itu turut bersama beliau mampu merasakan hantu-hantu para korban yang dibinasakan dengan alasan pembentukan suatu Ras bangsa yang lebih sempurna. Banyak orang menganggap Elie sebagai salah satu yang terselamatkan, akan sangat bersyukur karena terhindar dari kematian, tetapi membaca salah satu memoar yang sengaja ditulisnya ini, mau tak mau diriku merasa sangat iba dengan penderitaan yang harus diterimanya. Karena selama beliau hidup, bayang-bayang kelam tak kan pernah hilang dari benaknya...dan inilah salah satu alasan mengapa beliau menuangkan semuanya lewat tulisan berjudul “Night : A Holocaust Story”.

Jika Dalam Kehidupan Ini, saya hanya diberi kesempatan untuk menulis satu buku saja, buku inilah yang akan saya tulis. Kenapa saya menuliskannya ? Apakah agar saya tidak terseret dalam kegilaan, ataukah justru sebaliknya ? Agar terseret dalam kegilaan karena berusaha memahami sifat dasar dari ketidakwarasan itu sendiri ? Kegilaan yang teramat sangat menakutkan yang telah menyeruak dalam sejarah dan suara hati manusia ? Akankah mengungkapkannya dalam kata, atau menorehkannya di ingatan, mampu mencegah sejarah kelam agar tak terulang ?
[ from an Introduction by Elie Wiesel at Night : A Holocaust Story ]

Elie at age 15 [ source ]
Elie baru berusia 13 tahun pada tahun 1941 ketika ia bertemu dengan Moishe – si Pengurus Rumah Ibadah di kota Sighet, Transylvania, yang kemudian menjadi pembimbing rohani pemuda yang haus akan pembelajaran rohani, bersama-sama mereka mencari tahu dan memahami rahasia Kabbalah. Sang ayah, yang sangat berdedikasi pada panggilan hidupnya, sebagai konsultan kaum Yahudi, seringkali tidak hadir dalam keluarganya sendiri karena sibuk membantu keluarga lain yang membutuhkan. Ibunya, wanita soleh yang mengabdi pada keluarga, membantu suaminya mengurus toko bersama kedua putrinya Hilda dan Bea, dengan si bungsu Tzipora, sedangkan Elie, satu-satu putra keluarga, memiliki keleluasan dalam mengisi waktu luangnya, yang diisinya dengan memperdalam pengetahuan keagamaan. 

Kemudian muncul berbagai kejadian yang akan merubah kehidupan kaum Yahudi di Signet. Dimulai dari pengusiran pihak Hongaria terhadap kaum pendatang dari Signet, termasuk Moishe yang seorang imigran.  Beberapa bulan berlalu, entah dari mana Moishe muncul kembali, dalam kondisi yang sama sekali berbeda. Dan yang menyebabkan banyak orang memilih menghindari dirinya serta menganggapnya gila, karena ia membawa cerita aneh tentang pembantaian dan pembakaran semua rombongan yang terusir oleh tentara Gestapo. Tiada satu pun yang mau mendengarkan, apalagi mempercayai kisahnya. Saat itu menjelang akhir tahun 1942. Hingga pertengahan tahun 1944, berbagai berita tentang kekalahan Jerman menyeruak, memberikan harapan bagi kaum Yahudi. 

“Hitler takkan mampu menyakiti kita meskipun dia bermaksud demikian ... Membinasakan  seluruh etnis ? Menghapuskan penduduk yang sudah menyebar ke berbagai bangsa ? Orang Yahudi begitu banyak ! Dengan apa ia akan melenyapkan kami ? Di pertengahan abad ke-20 ini !”

Dalam kurun waktu beberapa hari, tentara Jerman memasuki kota, seminggu setelah Paskah, perintah-perintah baru dipasang, mulai dari tanda bintang kuning yang wajib dikenakan oleh semua kaum Yahudi, dan pembentukan kampung ghetto bagi mereka semua, di mana masing-masing harus mematuhi berbagai peraturan yang berlaku, jam malam, tidak boleh ada pertemuan dimana pun dan kapan saja, termasuk ibadat bersama. Semua menunggu hingga tiba waktunya. Dan ketika saatnya tiba, semua kaum Yahudi di penampungan harus pergi, meninggalkan semua harta benda miliknya (jika ketahuan masih membawa atau menyembunyikan harta benda, terutama emas, maka seketika akan dibunuh), berjalan kaki menuju suatu penampungan lain, tempat sementara sebelum mereka semua diangkut ke tujuan utama. 

"The Selection" : Left Row gets into slave labor, Right Row gets into gas chamber [ source ]
Kemudian mereka dipaksa memasuki gerbong-gerbong kereta api, satu gerbong berisikan 80-100 orang, yang harus berhimpitan, bertumpukan, tanpa ada tempat untuk sekedar duduk atau berbaring. Gerbong-gerbong yang ditutup rapat dan ditempuh dalam waktu beberapa hari, tanpa makanan maupun minuman. Dan ketika akhirnya mereka tiba di tujuan, suatu tempat yang bernama Auschwitz, gerbong yang ditempati Elie sekeluarga hanya ada sekitar 12 orang yang bertahan hidup. Belum sempat mereka bernafas lega, kaum pria dan wanita langsung dipisahkan di tempat (dan itu adalah saat terakhir bagi bocah Elie melihat ibu serta saudara-saudara perempuannya), dan seleksi masih berlanjut, yang terlalu muda dan terlau tua akan langsung dikirim ke tempat pembakaran. Yang dianggap cukup kuat dan memiliki keahlian khusus, akan masuk ke dalam kamp konsentrasi kerja paksa. Dan semenjak itu, ia tak memiliki nama atau identitas diri, hanya dikenal dan disebut sebagai A-7713, bocah berusia 15 tahun yang harus berbohong, mengatakan usianya 18 tahun agar selamat dari pembakaran.  

Dengan narasi yang sangat gamblang, Elie menuturkan sudut pandang kisah ini dari mata seorang bocah berusia 13 -14 tahun, bagaimana dirinya yang kuat, bersemangat dan mengabdikan diri serta keyakinan pada agama serta Tuhan yang Esa. Namun kenyataan memaksa dirinya harus menyaksikan pembantaian bayi-bayi yang dilempar ke tempat pembakaran. Atau tubuh-tubuh yang dilontarkan hanya sebagai permainan ‘tembak-sasaran’. Bagaimana para serdadu melihat para tawanan berebutan sepotong roti yang sengaja dilemparkan demi kesenangan menyaksikan mereka semua saling bunuh demi memperebutkan sesuatu yang tak akan mereka peroleh. Bahkan kenangan ini, kembali membayang di benaknya beberapa tahun kemudian ketika ia menyaksikan seorang wanita kaya dari Paris, menikmati pertunjukan dengan melemparkan koin dari atas kapal untuk diperebutkan oleh penduduk asli ... 

"all the victims that choose to be terminated" [ source ]
Elie memberikan suatu hal yang tak mudah dilupakan. Bukan hanya penyiksaan secara fisik yang membuat penderitaan para tawanan ini menjadi tak tertahankan, tetapi perampasan hak serta identitas diri mereka sebagai seorang manusia yang membuat pengharapan serta keinginan hilang dari manusia-manusia yang taat terhadap keyakinan serta ritual mereka. Sebagai seorang bocah yang seumur hidupnya meyakini bahwa Allah yang Esa akan menyelamatkan mereka yang setia padaNya, harus mengecap kepedihan serta kepahitan, bahwa nampaknya Setan telah menang di dunia yang ia tinggali. Tidak mungkin ada Allah yang tega membiarkan ribuan nyawa manusia tewas dalam pembantaian tiada akhir. Dimana keadilan 

“Untuk pertama kalinya , aku merasa amarah  muncul dalam diriku. Mengapa aku harus mengagungkan  nama-Nya ? Yang Maha Agung, Penguasa Semesta yang abadi dan jahat, yang memilih untuk diam. Mengapa kami harus  mengucap syukur pada-Nya ?” 
[ "Night" by Elie Wiesel | p. 49 ]

[ source ]
Propaganda serta cuci-otak yang diterapkan oleh Nazi terhadap para tahanan di kamp konsentrasi, membuat mereka kehilangan rasa manusiawi. Yang lemah langsung menyerah, memilih kematian daripada rasa tersiksa lebih lama. Yang kuat terpecah antara tetap bertahan pada keyakinan mereka atau berbalik mengikuti kehendak Nazi, menghujat Allah serta menjadi sekutu mereka, turut berperan serta dalam menyiksa anggota keluarga mereka sendiri dalam kamp konsentrasi. Sebagai seorang pemuda yang memiliki kekuatan tekad melebihi fisiknya, acapkalai Elie pun tergoda dengan pikiran untuk meninggalkan ayahnya, yang semakin tua dan lemah, menjadi beban bagi dirinya. Dan pada saat-saat itulah, ia berdoa hanya memohon kekuatan untuk tidak menjadi putra yang durhaka terhadap satu-satunya anggota keluarga yang masih ada disisinya.  

Membaca buku yang tidak terlampau tebal ini, namun penuh dengan berbagai narasi yang indah, sekaligus mencekam, diungkapkan tanpa tedeng aling-aling, Elie Wiesel melucuti setiap sudut  pikiran tergelap manusia yang putus asa dan kehilangan harapan melalui kisah perjalanan hidupnya. Sebagaimana kata pengantar yang ia tulis dalam edisi yang diperbaharui ini, tujuan utama penulisan buku ini bukan semata untuk membebaskan pikirannya yang tersiksa, tetapi juga membeberkan pada dunia agar tak pernah melupakan peristiwa ini dalam sejarah kehidupan manusia. Bukan untuk pembalasan dendam, tetapi sebagai Pengingat agar tiada lagi peperangan, pembantaian, pemusnahan umat manusia di dunia ini dengan alasan apa pun. 

Takkan pernah kulupakan malam itu, malam pertama di kamp yang mengubah hidupku menjadi malam panjang bersegel tujuh.
Takkan pernah kulupakan asap itu.
Takkan pernah kulupakan wajah-wajah mungil anak-anak yang tubuhnya menjelma menjadi asap di bawah langit yang bisu.
Takkan pernah kulupakan kobaran api yang telah menelan keyakinanku selamanya.
Takkan pernah kulupakan bisunya malam yang mencabut hasrat hidupku sepanjang masa.
Takkan pernah kulupakan saat-saat yang telah membunuh Tuhanku dan jiwaku, serta mengubah impianku menjadi abu.
Takkan pernah aku lupakan semuanya itu, bahkan bila aku dikutuk untuk terus hidup sepanjang umur Tuhan.
Takkan pernah.

[ source ]
Elie Wiesel, (30 September 1928) adalah penulis lebih dari 40 karya fiksi dan non fiksi, yang banyak mengundang tanggapan pembaca Internasional. Beliau memperoleh anugerah the Presidential Medal of Freedom, the United States of America Congressional Gold Medal, the French Legion of Honor, serta Nobel Peace Prize di tahun 1986, berkat peran aktif beliau dalam kampanye Perdamaian dan Perjuangan Hak Asasi Manusia, meskipun derita akibat Holocaust selalu membayanginya. Beliau juga mendapat penghargaan Profesor Andrew W. Mellon dalam bidang humaniora, dan menjabat sebagai profesor di University of Boston. 

[ source ]
Perjuangan beliau bukan hanya dalam mengingat kembali kenangan serta mimpi buruknya, menuliskannya dalam sebuah buku yang semula berbahasa Yiddi (bagian dari Germania yang menggunakan huruf Ibrani, dengan kosakata campuran antara bahasa Jerman, Ibrani, dan Slavia) dengan judul “Un di Velt Hot Geshvign” (Dan Dunia Tetap Bungkam), namun juga dalam mencari penerbit yang bersedia menerima naskah ini. Semua penerbit di Amerika, Inggris menolak untuk menerbitkan kisah yang dianggap kontroversial dan tidak akan laku. Ketika akhirnya ada yang bersedia menerbitkan dalam edisi bahasa Perancis, hasilnya sesuai dugaan tidak mendapat respons yang bagus di pasaran. 

Hingga François Mauriac – seorang penulis besar Prancis, pemeluk Katolik serta penyair peraih Nobel, melihat kembali dan berusaha meyakinkan Elie untuk me-revisi dan menerbitkan ulang naskahnya. Beliau turut memperjuangkan penerbitan naskah ini dan menggandeng Jérôme Lindon – kepala penerbitan Editions de Minuit yang disegani oleh khalayak penerbitan, hingga akhirnya keluarlah edisi terbaru buku dengan judul “Night : A Holocaust Story”. Elie yang pada awalnya tidak memahami bahasa Inggris, mempelajari bahasa ini dengan bantuan istrinya Marion Wiesel, mampu melihat banyak kekurangan dan bagian yang tak tersampaikan sesuai kenyataan dalam terbitan pertama. Dan melalui edisi terbaru yang bukan hanya di-revisi tetapi disertai tambahan serta buah pikiran Elie dalam proses pengerjaan naskah ini, memberikan kesempatan kedua bagi Elie untuk ‘berbagi’ pada dunia, beban serta tanggung jawab yang ia pikul sebagai salah satu yang Terselamatkan dari Neraka Holocaust. 

“Pada mulanya ada keyakinan, yang kekanak-kanakan, rasa percaya, yang sia-sia belaka; dan ilusi, yang membahayakan. Kami meyakini Tuhan, memercayai manusia, dan tinggal bersama ilusi bahwa setiap kaum kami telah diwarisi percikan suci dari nyala api Sang Shekhinah ; mata dan jiwa kami membawa pantulan dari gambaran Tuhan. Keyakinan itu adalah sumber atai sebab segala siksa ini.”

[ main source : wikipedia.org.  

Best Regards, 

Wednesday, May 30, 2012

Books "THE WHITE QUEEN"


Judul Asli : THE WHITE QUEEN
( book 1 of The Cousin’s War Series )
Copyright © 2009 by Philippa Gregory
Penerbit Esensi
Alih Bahasa : Putro Nugroho
Editor : Fikri Somyadewi & Fransiska R. Uli
Cover by  Sony Sonatha
Cetakan I : 24 November 2009 ; 580 hlm 

[ "Resensi buku ini dibuat dalam rangka ikut berpartisipasi dalam Lomba Resensi Buku ReadingWalk.com" | source from Reading Walk's Library ]
Sinopsis :
Kisah ini dimulai pada saat musim semi tiba tahun 1464 di daratan Inggris. Seorang wanita cantik bernama Elizabeth Woodville – putri pertama Sir Richard Woodville, Baron Rivers, seorang pendukung setia raja-raja Inggris dari garis keturunan Lancaster yang termahsyur. Meski demikian, istri sang baron adalah salah satu keturunan bangsawan Duke dari Burgundy di Prancis, yang percaya bahwa mereka masih merupakan garis keturunan Dewi Melusina – Dewi Air Prancis yang memiliki kekuatan sihir. 

Elizabeth telah menjadi janda pada usia 27 tahun. Suaminya : Sir John Grey tewas dalam pertempuran membela keluarga kerajaan Lancaster. Pada saat itu terjadi perang saudara, perebutan tahta  kerajaan antara keluarga Lancaster, keluarga York dan keluarga Beaufort yang nantinya menjadi cikal bakal keturunan Tudor.

Saat itu, Elizabeth berjalan menuju Northampton dengan tujuan menemui Raja Inggris – Edward dari York, yang sedang memimpin perang melawan keturunan Lancaster : Raja Henry dan Permaisuri Margareth dari Anjou, hingga mereka tersingkirkan dan dalam pelarian. Tujuan Elizabeth adalah memohon bantuan dan kebijaksanaan sehubungan dengan hak waris bagi dirinya dan kedua putranya Thomas dan Richard Grey, telah diambil dan diakui oleh mertuanya, sepeninggalan suaminya.  

Namun siapa sangaka pertemuan antara keduanya akan merubah nasib dan masa depan kerajaan Inggris. Keduanya saling tertarik, meski Elizabeth tetap berusaha menjaga statusnya sebagai janda dan keturunan Rivers yang terhormat, ia tak dapat mengingkari hatinya telah tertambat pada Raja muda yang tampan dan terkenal perayu ulung.  Dan Edward selalu berhasil mendapatkan keinginannya, walaupun kali ini ia harus berjuang keras mengalahkan keteguhan hati Elizabeth yang tak mau menjadi salah satu simpanan sang Raja. 


Ketika akhirnya mereka berhubungan sebagai sepasang kekasih, hal tersebut dilakukan secara diam-diam, karena status keluarga Rivers adalah pendukung setia Lancaster, lawan Edward dari York. Hanya dengan restu dan sepengetahuan sang ibu, maka Elizabeth berani melakukan pernikahan secara diam-diam dengan Edward. Tetapi sesuatu yang disembunyikan tak akan dapat bertahan lama, apalagi dengan berbagai kunjungan resmi yang Edward lakukan pada kediaman Rivers, mau tak mau, keluarga dan kerabat dekat masing-masing pihak dapat melihat, ada sesuatu di antara mereka. 

Dan ketika Anthony – kakak Elizabeth mengetahui rahasia itu, ia marah besar dan hendak melaporkan kelakuan Elizabeth kepada ayahnya. Anthony percaya bahwa Edward sama seperti lelaki lain, hanya mengumbar janji kosong tanpa pernah berniat menepati janji – menikahi dan mengakui Elizabeth sebagai istri dan Ratu Inggris. Anthony memiliki alasan untuk curiga, karena selama ini Edward selalu dalam bayang-bayang kendali Lord Warwick – penasehat kerajaan, keturunan pendukung setia keluarga York. Lord Warwick adalah sosok yang ambisius, ia telah memiliki jariangan kekuasan yang luas hingga berani menjanjikan bahwa raja Edward akan menikah dengan putri kerajaan Prancis demi memperoleh dukungan secara politis. 

Dugaan Anthony tidak sepenuhnya salah, Edward berkesan selalu mencari alasan untuk menunda membawa Elizabeth sebagai istrinya di depan khalayak umum. Hingga pada suatu saat yang tak pernah diduga, saat kerajaan sedang dipersiapkan untuk menyambut pertunangan Edward dengan putri Prancis, Edward justru ‘menjatuhkan bom’ dan menyiarkan bahwa ia telah menikah dengan Lady Elizabeth Woodville dari keluarga Rivers.

"Kita harus waspada selama sisa hidup kita. Kau telah menempatkan keluargamu dalam sebuah kesempatan besar, tetapi juga sekaligus bahaya yang besar, Adikku. Aku adalah saudara ipar dari sang Raja Inggris, tetapi aku harus mengatakan ini kepadamu : harapan terbesarku adalah meninggal di tempat tidurku, damai bersama dunia, ketika usia lanjut menjelang."
( ~ letter to Lady Elizabeth Grey from her brother, Anthony Woodville; p. 81 )

Maka dimulailah pertunjukkan akbar, para penguasa sebelumnya di bawah kendali  Lord Warwick mendapati rencana mereka berantakan dan musuh baru ada di depan mata. Keluarga Rivers segera memperoleh kekuatan dan kekuasaan. Saudara-saudara Elizabeth, Anthony, John, Richard, Edward dan Lionel segera memperoleh kedudukan dalam pemerintahan. Ketiga saudara perempuan Elizabeth bertunangan dan menikah dengan orang-orang yang memiliki pengaruh serta kekayaan. Keluarga Rivers yang juga keturunan bangsawan Burgundy, pengikut setia Lancaster, sekarang menjadi sekutu York dalam kancah perebutan kekuasaan yang tiada henti. 

Elizabeth belajar untuk mengetahui siapa saja yang bisa dijadikan sekutu dan siapa yang harus disingkirkan demi mengamankan keluarganya. Bukan hal yang mudah, apalagi ia mendapati perlawanan secara halus namun cukup menakutkan justru dari dalam keluarga kerajaan. Ibu mertuanya Duchess Cecily sangat membencinya, apalagi ia tidak terlalu menyayangi Edward, melainkan lebih menyukai saudaranya George – Duke dari Clarance, bocah tampan, manja dan egois. Dan selain Lord Warwick, Elizabeth juga harus berhadapan dengan orang kepercayaan Edward : Sir William Hastings – diantara keduanya ada perasaan saling tak menyukai saat pertama kali bertemu. 

Masih ditambah dengan adik bungsu Edward : Richard – Duke dari Gloucester yang penyendiri dan sedikit aneh. Yang lebih merepotkan, meskipun saudara-saudaranya seperti itu, Edward sangat mencintai mereka dan tidak pernah mempercayai bahwa saudaranya akan berbalik melawan dirinya ... sesuatu yang ternyata memang terjadi di kemudian hari, sesuai dengan ramalan dan ‘penglihatan’ yang telah dilihat oleh Elizabeth, sebagai keturunan Dewi Melusina, ia juga memiliki kemampuan gaib seperti ibunya.  Dan berkat nasehat dan pendampingan yang dilakukan ibunya, sebagai mantan orang kepercayaan dan dayang Ratu Margareth dari Anjaou – maka Elizabeth mampu mengatasi berbagai halangan dan hambatan yang mengusik keluarganya.


Kesan :
Sebuah kisah yang menarik, menggambarkan kehidupan keluarga pendukung keturunan Raja-Raja Inggris Kuno, yang terjepit sebagaimana semua pengikut serta rakyat Inggris pada era Perang Saudara yang berkepanjangan, tiada henti. Penulis mengkhususkan diri pada kehidupan Elizabeth Woodville – wanita muda yang terkenal sangat cantik dari keturunan terhormat, dan mendapat tempat ‘istimewa’ di hati Edward dari York, salah satu keturunan yang sempat menduduki tahta kerajaan Inggris sebelum era Tudor berkuasa. 

Seperti kebanyakan kisah tentang perebutan kekuasaan serta pergantian tahta kerajaan yang bergulir dengan cepat antara penguasa satu dengan penguasa berikutnya, maka kisah ini tak lepas dari berbagai intrik serta konflik yang dapat dikatakan ‘menghalalkan’ segala cara demi kekuasaan. Pengorbanan jiwa serta harga diri, bukanlah sesuatu yang ‘tabu’ bahkan nyaris dilakukan oleh semua orang yang ambisius. Termasuk mengorbankan pengikut serta sekutu, bahkan jika dibutuhkan anggota keluarga sendiri.  

Kisah cinta antara Elizabeth dan Edward dapat dikatakan berjalan dengan sangat baik dan tidak terjadi konflik yang cukup besar dalam rumah tangga mereka. Terutama berkat pengertian Elizabeth akan kondisi Edward, sebagai pria tampan dan menarik, memuja para wanita cantik sebagaimana para wanita dari berbagai kalangan bersedia berebut untuk mendapatkan perhatian Edward. Paham bahwa seorang pria dimaklumi untuk ‘bersenang-senang’ di luaran asalkan tidak membawa masuk wanita simpanannya di dalam istana, dan sang permaisuri justru akan mendapat sorotan negatif jika berhubungan dengan pria lain ... mmm, diriku sangat bersyukur tidak hidup di era ini (^_^) 


So far novel ini cukup lumayan menghibur, hanya sedikit gangguan serta kebingungan membedakan tokoh yang satu dengan yang lain ... karena namanya sama semua, Henry, Edward, John, Richard, Elizabeth, Margareth, fiuuuh, sungguh tidak kreatif dech orang-orang pada jaman ini. Bagaimana rasanya jika seseorang memanggil sebuah nama, ternyata sekeluarga mulai kakek, ayah, anak, cucu, semua namanya sama ...hahaha (^_^)

Yang jelas, sosok Elizabeth Woodville mampu mengundang rasa simpati serta ‘sedikit’ kekaguman pada diriku. Walau ia memang jatuh-cinta pada Edward dan menikah atas dasar saling mencintai, sesuatu yang jarang terjadi pada penikahan kerajaan yang lebih didasarkan pada permainan politik belaka, tapi Elizabeth harus menghadapi berbagai benturan serta konflik intern dalam kehidupan pribadinya. Bahkan ketika ayahnya dan kakak tercinta John tewas dipenggal oleh Lord Warwick – yang kemudian justru diampuni oleh Edward demi kelangsungan kerajaan, ia harus bertahan dalam permainan politik kotor. 


Juga dalam hal melindungi putra-putrinya dari serangan berbagai musuh dalam kerajaan. Edward – sang calon putra mahkota, disekap dan kemudian dinyatakan hilang, tanpa diketahui keberadaannya (sesuai denga fakta sejarah yang mengungkap kemisteriusan nasib putra mahkota Edward yang masih bocah kanak-kanak pada waktu itu). Elizabeth terpaksa melakukan siasat dengan ‘melarikan’ Richard – putra keduanya untuk dibesarkan di kalangan rakyat biasa, berganti nama Peter, hidup bukan sebagai keturunan Raja, tapi bocah laki-laki penduduk Inggris, demi keselamatan nyawanya.   

Bahkan saat putri sulungnya : Elizabeth yang beranjak dewasa, terlihat mewarisi bakat dan kemampuan 'meramal' dari keluarganya, dan mulai menunjukkan pemberontakan melawan nasehat ibunya. Elizabeth harus berpikir keras bukan hanya menjaga tetapi juga memastikan bahwa masa depan keturunannya tidak lenyap begitu saja. Elizabeth memiliki hati lembut dan penuh kasih, tapi itu semua berubah saat ia memikirkan kelangsungan hidup keluarganya, karena Edward tak mampu lagi membela dirinya, kedua putranya menghilang, putri sulung harapannya justru 'menaruh-hati' pada musuh utama ...

"Sebagaimana kaum pria harus bertempur, kita wanita harus menanti dan membuat perencanaan. Ini adalah waktu bagimu untuk menanti dan merencanakan. Kau harus konsisten dan berhati-hati. Kejujuran hampir tidak ada artinya." 
( ~ letter to Elizabeth of York from her mother, Lady Elizabeth Grey ; p. 560 )
Tentang Penulis : 


Philippa Gregory lahir di Kenya, Afrika pada tanggal 9 Januari 1954. Baru pada usia dua tahun, keluarganya pindah ke Inggris. Beliau dikenal sebagai seorang sejarawan dan penulis yang handal, dan menghasilkan serial fiksi historical yang masuk dalam daftar bestseller. Karyanya tentang keluarga Tudor dalam The Other Boleyn Girl, merupakan salah satu novel yang laris di dunia dan memenangkan Parker Romantic Novel of the Year 2002. 

Kesuksesan novel ini semakin meningkat sehingga dijadikan serial drama televisi oleh BBC, menyusul sequel dari serial Tudor ini. Miramax bahkan membeli hak cipta untuk  diangkat ke layar lebar, dibintangi oleh Scarlet Johansson (Mary Boleyn), Natalie Portman (Anne Boleyn) dan Eric Bana (Henry Tudor) serta Kristin Scott Thomas (Elizabeth Boleyn). 


Sekarang dalam novel “The White Queen” (Ratu Mawar Putih) ini, ia menampilkan sebuah keluarga yang ada sebelum era keluarga Tudor , yakni keluarga Plantagenet yang mengagumkan – sebuah keluarga yang telah melalui lika-liku yang kompleks dalam persaingan memperebutkan kekuasaan, dalam cinta dan kebencian. 

Kelanjutan dalam serial ini telah rilis dan menjadi bacaan wajib bagi para penggemar kisah para keluarga keturunan penerus penguasa kerajaan Inggris Kuno. Adapun kronologis serial ini sebagai berikut : 
1. The White Queen : tentang Lady Elizabeth Grey, yang dikenal sebagai Elizabeth Woodville, ratu dari King Edward IV of England

2. The Red Queen : tentang Lady Margareth Beaufort, ratu dari King Henry yang digulingkan oleh Edward IV, yang selalu mencari jalan guna menempatkan putranya Henry Tudor kembali bertahta.

3.  The Lady of The Rivers : tentang Jacquetta of Luxembourg, ibu dari Elizabeth Woodville, seorang wanita bangsawan yang memilih menikah dengan pria yang lebih rendah derajatnya setelah kematian suami pertamanya.

4. The Kingmaker’s Daughters : tentang dua bersaudara Neville, yang pertama Anne Neville, istri dari Edward of Wesmister, Prince of Wales, yang tewas dalam pertempuran,  dan kemudian menikah dengan Richard III of England, saudara kandung king Edward IV, sekaligus musuh utama Elizabeth Woodville. Yang kedua adalah Isabel Neville, semula adalah jodoh Edward IV (yang akhirnya memilih Elizabeth Woodville), dan dipaksa menikah dengan George – Duke of Clarence, saudara Edward IV yang mudah diperalat musuh. Kedua wanita ini adalah putri dari Richard Neville – Earl of Warwick, yang dikenal sebagai Kingmaker.

5. The White Princess : kisah tentang Elizabeth of York, putri sulung Elizabeth Woodville dan Edward IV, memiliki kemampuan warisan keluarga Woodville, diramalkan berusia panjang dan mampu mewujudkan impian sang ibu. Ia menikah dengan Henry VII dan memiliki putra yang dijuluki Henry VIII of England.

Philippa pernah menjadi mahasiswi di Universitas Sussex. Kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Edinburgh dan meraih gelar Ph.D. pada tahun 2009. Kelebihan khusus pada tulisan-tulisannya adalah kecintaannya pada sejarah dan komitmennya pada akurasi fakta sejarah. 

Philippa tinggal bersama keluarganya di sebuah peternakan kecil di Yorkshire, Inggris. Dan ia semakin kreatif dan rajin menghasilkan karya-karya tulis dengan berlatar belakang sejarah, menjadikannya penulis historical-fiction yang digemari banyak pembaca. Kunjungi situsnya di website Philippa Gregory  dan dengan senang hati ia akan menjawab pertanyaan-pertanyaan pembaca. 



Best Regards, 
* Hobby Buku *