Books “QUO VADIS ?”
Judul Asli : QUO VADIS – A NARRATIVE OF THE TIME OF NERO
Copyright © by Henryk Sienkienwicz
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa : Antonius
Adiwiyoto
Desain Sampul : Satya Utama Jadi
Cetakan II
: November 2009 ; 552 hlm
Sepanjang sejarah kehidupan, Manusia –
sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia karena diberkahi akal-budi
untuk memilih kehidupan yang akan dijalani, memutuskan mana yang baik dan mana
yang buruk. Sesuai dengan evolusi dan perkembangan, maka ciptaan-Nya semakin
disempurnakan, secara fisik maupun mental. Akan tetapi kebebasan serta hak
untuk memilih, justru banyak disalah-gunakan pada hal-hal yang tidak layak dan
sangat tidak manusiawi, sesuai dengan akhlak dan kodrat masing-masing. Jika
hanya segelintir manusia yang memiliki akhlak rendah, maka kehidupan akan terus
berjalan. Namun bagaimana seandainya suatu bangsa yang besar, justru mengalami
kejatuhan akan turunnya nilai-nilai moral, perilaku serta pikiran yang tiada
bedanya dengan hewan atau makhluk yang lebih rendah derajatnya ??
Sejarah mencatat kebangkitan suatu
bangsa muncul setelah terjadi tragedi atau musibah besar. Dan di antara sekian
banyak kejadian, justru peran serta manusia itu sendiri yang menyebabkan
terjadinya pemusnahan, pembantaian, dan pembenaran atas perilaku yang tidak
manusiawi. Dengan alasan memperluas kekuasaan, memerintah serta memperbudak
manusia-manusia lain, peperangan, pembunuhan dan penyiksaan dibenarkan secara
‘hukum-manusia’ dan salah satu alasan yang menyebabkan terjadi perang
berkepanjangan adalah penyebaran agama, menghadapi aliran keyakinan kuno,
terutama paganisme yang berputar pada politeisme, animisme dan dinamisme. Salah
satu pendobrak aliran ini dimulai ketika terjadi penyebaran agama Kristen -
tugas para rasul setelah Kebangkitan Kristus, memperbaharui janji akan dunia
baru, pengampunan serta kehidupan yang kekal di sisi Allah yang Tunggal.
Preview :
Kisah dibuka ketika Petronius – mantan
gubernur dan anggota kehormatan Dewan Romawi, kesayangan Caesar Lucius Domitius
Ahenobarbus atau yang dikenal sebagai Nero, karena kemampuan serta kesukaan
Petronius akan seni serta keindahan, membuat dirinya dijuluki sang Penilai
Keindahan, dan ia mendapat kunjungan tak terduga dari kemenakannya Vinicius Muda. Pemuda tampan dan menarik ini baru
kembali ke Roma setelah mengikuti pasukan Corbulo, dan ia memiliki permohonan
pada sang paman yang memiliki pengaruh serta kekuasaan demi tercapainya impian
terpendam yang menggebu-gebu dalam dirinya. Vinicius jatuh hati pada Callina
atau yang lebih dikenal sebagai Lygia – putri angkat Aulus Platius dan Pomponia
Graecina.
Kesulitan terjadi karena Lygia bukan
bangsa Romawi, melainkan keturunan Raja bangsa Lygia (=sekarang disebut sebagai
bangsa Polandia) yang pernah menjadi sekutu sekaligus tawanan perang. Setelah
perang lama usai, Lygia sebatang kara, dan dibawa ke Roma, dirawat serta
dibesarkan oleh Aulus dan Pomponia yang menyayanginya bagai putri kandung mereka. Karena perbedaan status, tidak
layak jika gadis ini dijadikan seorang istri bagi Vinicius yang keturunan
terhormat bangsa Romawi. Namun tidak mungkin pula Aulus menyerahkan putrinya
sebagai selir / gundik Vinicius, apalagi keluarga mereka dikabarkan menganut
aliran ‘Kristen’ yang dianggap aneh bagi para petinggi Roma. Karena kondisi
inilah, Vinicius meminta pertolongan Petronius yang memiliki banyak akal serta
muslihat.
Petronius sangat sayang pada Vinicius,
maka ia mengatur sebuah rencana terselubung yang nantinya akan membuat Lygia
menjadi ‘milik’ Vinicius. Melibatkan peran serta perintah Caesar Nero, Lygia
ditahan di kediaman Caesar untuk nantinya diberikan sebagai hadiah kepada
pemuda yang sedang mabuk kepayang. Yang tidak mereka ketahui atau dengan
sengaja menutup mata, bahwa Lygia bukan gadis biasa. Ia dibesarkan dan dididik
secara Kristen oleh keluarga angkatnya, sehingga hatinya bersih, tidak menyukai
bahkan cenderung muak pada pesta pora dan kebiasaan hidup para pejabat Roma.
Meski di dalam lubuk hatinya, ia juga tertarik pada Vinicius, namun ia tak mau
mengorbankan prinsip hidupnya dengan menjadi selir Vinicius. Maka saat
Petronius dan Vinicius menanti iring-iringan tandu yang membawa ‘selir-baru’ ke
kediamannya, Lygia dibantu pelayan setianya Ursus serta kelompok Kristen,
melarikan diri, bersembunyi dalam lindungan para penganut dan simpatisan
Kristen.
Pelarian Lygia berdampak pada kemarahan
Nero yang nyaris menghukum pasangan Aulus dan Pomponia, karena dianggap mereka
berperan serta dalam aksi pemberontakan itu. Dan dampak yang paling hebat
adalah Vinicius yang nyaris gila dalam usahanya menemukan wanita pujaan
hatinya. Pemuda yang semula mabuk kepayang, akhirnya murka akibat penolakan
Lygia.
Hal ini mendorong dirinya untuk menempuh segala cara, menemukan wanita
itu dan membalas penghinaan yang ia lakukan. Petronius yang melihat kejatuhan
moral serta pikiran Vinicius berusaha mencegah, namun kebulatan tekad pemuda
yang putus asa itu, tak mampu dibendung. Kemudian melalui Eunice – budak setia
Petronius, mereka bertemu dengan Chilo Chilonides – seorang peramal yang menjanjikan
mampu mencari persembunyian Lygia yang bagai lenyap ditelan bumi.
Penyelidikan Chilo membawa mereka ke
pertemuan rahasia kaum Kristen, dan setelah menunggu sekian lama, akhirnya
suatu hari, mereka berhasil menemukan di mana Lygia berada. Membawa seorang
pengawal dan disertai Chilo, Vinicius menyusup dalam tempat persembunyian dan
melarikan Lygia yang terkejut. Namun Ursus yang tak pernah melepaskan putri
lindungannya, mampu membunuh sang pengawal dan nyaris membunuh Vinicius jika
tidak dicegah oleh Lygia. Vinicius berada pada posisi yang terbalik, kini ia
terluka parah dan menjadi tawanan.
Dalam proses penyembuhan dan pemulihan,
Vinicius bertemu dengan sebagian pelindung dan teman-teman Lygia, orang-orang
yang dengan sepenuh hati merawat dan membantu pemulihan dirinya. Vinicius
terheran-heran akan kebaikan serta kemurahan hati orang-orang tersebut. Bahkan ketika
ia berhadapan Rasul Petrus, mendengarkan ajaran-ajaran yang diberikan sepotong
demi sepotong di tengah kondisi setengah sadar. Walau ia tak mampu langsung
memahami pemikiran para pemeluk agama ini, namun secara perlahan, hal itu
berpengaruh pada dirinya, menimbulkan pergolakan dalam hatinya.
“...dia mendengar khotbah bahwa orang bahkan harus
mengasihi musuhnya. Tapi menurut pendapatnya itu hanya teori belaka. Dalam
hidup sesungguhnya, itu takkan terjadi. Pahala apa yang diinginkan orang-orang
ini? Vinicius berpendapat bahwa kehidupan orang Kristen di dunia yang
mengesampingkan hartabenda dan kesenangan hanya merupakan hidup yang
menyedihkan. Tetapi ada hal-hal yang mengherankan : wajah setiap orang
berseri-seri, air muka mereka memancarkan suka cita yang sangat besar, ketika
orang yang seharusnya dibunuh karena bersalah, dilepaskan dan diampuni
kesalahannya...”
[ p. 209 ]
Sementara Vinicius dalam pemulihan,
Petronius yang berangkat mendampingi Nero beserta para pendukungnya,
berjalan-jalan mengunjungi wilayah Yunani, tempat-tempat yang disukai oleh Nero
dan membuat pesta pora di mana pun mereka berkunjung. Petronius mencemaskan
kondisi Vinicius, tetapi ia juga harus mempertahankan status sosialnya,
terutama dengan adanya pihak-pihak yang iri dengan kedekatan dirinya terhadap
Nero. Salah satu yang paling giat melawan Petronius adalah Tigellinus – Kepala
Pasukan Pengawal Praetoria, yang bersedia melayani apa pun permintaan Nero demi
menjamin posisinya sebagai kepercayaan Caesar.
Ketika akhirnya Vinicius mampu kembali
ke kediamannya, ia telah berubah. Ajaran dan perilaku sehari-hari kaum Kristen
yang disaksikan semasa pemulihannya, membuat ia mempertanyakan arti kehidupan
yang selama ini ia jalani. Kegelisahan hatinya kini bukan diakibatkan kemarahan
dan cemburu buta, namun pada keyakinan suatu janji akan kehidupan baru yang
lebih membahagiakan jiwa serta batin manusia. Kini ia tak mampu membangkitkan
minat pada undangan pesta pora yang diadakan oleh kaum terhormat Romawi.
Petronius meski tetap menyayangi dirinya, tak mampu menyelami pemikiran Vinicius
yang baru ini. Ketertarikan Petronius akan agama Kristen beserta pemeluknya,
sebatas berhubungan dengan Vinicius dan mempelajari sesuatu yang baru, tanpa
bertujuan menjalaninya.
“Aku tahu penghiburanmu terletak dalam Kristus. Tapi aku
tidak mengerti apa artinya,” kata Vinicius. “Bagi kami tidak ada perpisahan,
sakit, maupun penderitaan. Kalau memang ada, segera akan berubah menjadi
kegembiraan. Maut sendiri yang bagimu berarti akhir kehidupan, bagi kami orang
Kristen berarti awal kehidupan. Maut merupakan perubahan dari kesengsaraan
menjadi kebahagiaan tanpa batas, dan sifatnya kekal,” jawab Lygia.
[ p. 219
-202 ]
Conclusion :
Even the main character of this
stories, Marcus Vinicius and Lady Lygia, this not all about their
relationships. The author puts them to connect with the history between reality
and fictional. The main historical theme is about the journey of Christianity
and its people who had to choose between
their life or their religion, something that not acceptable by Romans who still
believe in many gods than one God.
The setting was City of Rome under the
rule by Emperor (Caesar) Nero around AD 64. Conflict start to build around the
relationship between Lady Lygia from the Lygia’s Heirs (its Poland now) who
also secretly life as a Christian, then a young Roman patrician named Marcus
Vinicius falling in love with her, even possesed to own her as a mistress.
Afraid of being mollested, Lady Lygia runaway from Caesar’s orders, makes her
and everyone who helps her pursue as traitor to Emperor.
But God’s will speak differently, when
Vinicius path while pursue woman of his dreams to revenge, come across with
Christian people, meets and learn about becoming Christian from Saint Peter and
Saint Paul. Saint Peter – the first student of Christ, who had been active and
provocative leader of Christianity since The Christ Rise, really influence
Vinicius perspective about the most important in life. With the exampler of
Saint Paul boldness, as former Christian-hater who become faithful believer,
this stories would also give another inside-perspective to the readers.
I’m baptist as an Catholic, learn about
Bible and its history since very young age. But reading this
‘historical-fiction’, knowing that this is fictional, yet my heart so trouble
while seeing the episode who discribe so vivid by the author. The drama, the
tragedy, how this crazy-egomaniac Emperor can adjust the burning of the city
full of people who he didn’t like ‘cause its against ‘beauty and sense of art’
--- and when its out of control, everyone involve doesn’t have a courage to
confess, instead looking some else to blame, then the hatred arise, burning
like a flame, searching an escape tunnels to burn another victim.
If you ever watch movies like
Gladiator, Spartacus or Ben Hur, mostly the great and glamour feeling will
erase the brutality of the scene. Believe me, when you reading this book,
you’re not gonna easily forgot the image of people killing people just to
entertaint the audience (how even they can watched it again and again that beyond
my mind) --- even there’s a scene, contest between audience who had stomatch
and stay until the masacre finished (and this masacre can be taking days to
finished).
But beyond all
the worse parts, this stories give something else too, God’s promise to its
people --- everyone else, from children to oldest, from peasant to respectable,
beggars to royal family, men and women, that if they confess and claimed Him as
the only God they believe, no matter what happen, when the time is come-there’s
a place for them on His side in Heaven. “Quo Vadis, Domine” __ is Latin phrase for
‘Where are you going, Lord ?’ and alludes to the apocryphal Acts of
Peter, in which Saint Peter flees Rome but on his way meets Jesus and asks
him why he is going to Rome. Jesus says "I am going back to be crucified
again", which makes Peter go back to Rome and accept martyrdom.
5 star to Quo
Vadis by Henryk Sienkienwicz.
About Author :
Henryk Adam Aleksander Pius Sienkienwicz ( May 5, 1846 – November 15, 1916 ) was a
Polish journalist and one of the most popular Polish writers at the turn of the
19th and 20th centuries. Born into an impoverished noble family Russian-ruled
Poland. He wrote several historical novels set during Commonwealth ( Polish
Republic ), and many of them first serialized in newspapers. In Poland, he is
best known for his historical novels such as “With Fire and Sword”, "The Deluge",
and "Fire in the Steppe" (The Trilogy)
set during the 17th-century Polish-Lithuanian Commonwealth,
while internationally he is best known for Quo Vadis, set in Nero's Rome. Quo
Vadis has been filmed several times, most notably the 1951 version.
Quo Vadis : A Narrative of the Time of
Nero is a historical novel based on Roman Empire with very much detail and
accuracy, makes this novel also carries an outspoken pro-Christian message .
First published in three separated Polish edition in 1895, then came out in book
form in 1896 and since then has been translated into more than 50 languages.
This epic-novel contributed on Sienkiewicz’s Presticious Award : The Nobel
Prize for Literature in 1905, for his “outstanding merits as an epic writer.”
Several adaptations have been made based on this book, including the 1951
Hollywood Production on Quo Vadis and the 2001 adaptation by Jerzy
Kawalerowicz.
[ more about this author, check on here : Henryk Sienkiewicz | about his works, check on here : Project Gutenberg | about book adaptation, check on here : IMDB ]