WELCOME

For everyone who love classical stories
from many centuries until millenium
with some great story-teller around the world
these is just some compilation of epic-stories
that I've read and loved so many times
... an everlasting stories and memories ...

Translate

Showing posts with label Nobel Prize Winners. Show all posts
Showing posts with label Nobel Prize Winners. Show all posts

Saturday, November 24, 2012

Books "EAST WIND WEST WIND"



Books “ANGIN TIMUR ANGIN BARAT”
Judul Asli : EAST WIND WEST WIND
Copyright © 1930 by Pearl S. Buck
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa : Lanny Murtihardjana
Cover by Satya Utama Jadi
Cetakan I : Februari 2009 ; 240 hlm 
[ Review in Indonesia ]

Sebagai penggemar karya Pearl S. Buck – penulis asal Amerika yang memiliki ketertarikan kuat akan akar budaya Asia, buku ini menjadi salah satu target bacaanku, terutama dalam program Reading Challenge Historical Fiction. Namun setelah membaca kisahnya, kali ini penulis lebih berpegang pada adat-istiadat serta budaya kuno bangsa Cina yang bertemu dengan budaya Barat, sedikit mirip kisah kehidupan keluarga Wang (The Good Earth ; Sons ; A House Divided), namun lebih diutamakan kepada lingkup yang lebih kecil tanpa menyinggung soal sejarah serta perubahan politik. Meski demikian, buku yang tidak terlalu tebal ini, mampu memberikan gambaran serta sorotan tajam penulis akan kekangan adat budaya lama Cina di era yang mendekati dunia modern Barat.

[ source ]
Dengan menggunakan gaya penuturan ala buku harian, kisah ini merupakan curahan hati serta pikiran gadis bernama Kwei Lan. Sebagaimana adat Cina, meski ia terlahir dari Istri Pertama sebuah keluarga terpandang, kehidupannya berjalan nyaris tanpa perhatian atau kasih sayang kedua orang tuanya. Sang ibu mencurahkan seluruh perhatiannya kepada putranya – kakak Kwei Lan sekaligus penerus nama keluarga mereka. Sedangkan sang ayah, lebih memilih bersenang-senang dengan berbagai wanita yang dijadikan Selir-Selirnya. Kwei Lan gadis yang anggun, cantik, menarik serta telah mempelajari berbagai pengetahuan serta ketrampilan layaknya wanita terhormat. Maka ketika tiba waktunya, ia dipanggil untuk menikah dengan jodoh pilihan kedua orang tua masing-masing pihak, yang telah ditentukan semenjak ia lahir. 


Monday, November 12, 2012

Books "NIGHT"



Judul Asli : NIGHT
A Holocaust Story by Elie Wiesel
Copyright © 1958 by Les Éditions de Minuit
Penerbit Esensi
Alih Bahasa : Alamanda Christian
Editor : Marina Sofyan, S.S. & Theresia Vini S.,S.E.
Cover by Rasuardie
Cetakan I : 21 Juli 2006 ; 408 hlm 

[ source ]
Sebagai penggemar kisah sejarah, maka berbagai kisah tentang peperangan akan selalu menjadi topik yang tak mudah dilepaskan dari rangkaian kisah-kisah ini. Namun salah satu peperangan yang paling banyak mengundang rasa ‘ngeri’ baik melalui buku maupun dokumentasi film adalah peran Nazi dalam membantai kaum Yahudi. Kisah-kisah para korban maupun mereka yang berhasil ‘selamat’ untuk memberitakan hal ini kepada dunia, selalu saja mengundang tanda tanya bagi diriku, bagaimana mungkin sesama manusia mampu bertindak dengan kesadaran penuh, bahwa penyiksaan dan pemusnahan manusia, adalah sesuatu yang dibenarkan.

[ source ]
Salah satu kisah yang sempat menarik perhatianku, ketika Elie Wiesel diundang dalam acara talk-show Oprah Winfrey’s Show beberapa tahun silam, disertai dengan napak tilas beliau sebagai salah satu ‘holocaust survival’ mengunjungi Auschwitz, bahkan Oprah yang saat itu turut bersama beliau mampu merasakan hantu-hantu para korban yang dibinasakan dengan alasan pembentukan suatu Ras bangsa yang lebih sempurna. Banyak orang menganggap Elie sebagai salah satu yang terselamatkan, akan sangat bersyukur karena terhindar dari kematian, tetapi membaca salah satu memoar yang sengaja ditulisnya ini, mau tak mau diriku merasa sangat iba dengan penderitaan yang harus diterimanya. Karena selama beliau hidup, bayang-bayang kelam tak kan pernah hilang dari benaknya...dan inilah salah satu alasan mengapa beliau menuangkan semuanya lewat tulisan berjudul “Night : A Holocaust Story”.

Jika Dalam Kehidupan Ini, saya hanya diberi kesempatan untuk menulis satu buku saja, buku inilah yang akan saya tulis. Kenapa saya menuliskannya ? Apakah agar saya tidak terseret dalam kegilaan, ataukah justru sebaliknya ? Agar terseret dalam kegilaan karena berusaha memahami sifat dasar dari ketidakwarasan itu sendiri ? Kegilaan yang teramat sangat menakutkan yang telah menyeruak dalam sejarah dan suara hati manusia ? Akankah mengungkapkannya dalam kata, atau menorehkannya di ingatan, mampu mencegah sejarah kelam agar tak terulang ?
[ from an Introduction by Elie Wiesel at Night : A Holocaust Story ]

Elie at age 15 [ source ]
Elie baru berusia 13 tahun pada tahun 1941 ketika ia bertemu dengan Moishe – si Pengurus Rumah Ibadah di kota Sighet, Transylvania, yang kemudian menjadi pembimbing rohani pemuda yang haus akan pembelajaran rohani, bersama-sama mereka mencari tahu dan memahami rahasia Kabbalah. Sang ayah, yang sangat berdedikasi pada panggilan hidupnya, sebagai konsultan kaum Yahudi, seringkali tidak hadir dalam keluarganya sendiri karena sibuk membantu keluarga lain yang membutuhkan. Ibunya, wanita soleh yang mengabdi pada keluarga, membantu suaminya mengurus toko bersama kedua putrinya Hilda dan Bea, dengan si bungsu Tzipora, sedangkan Elie, satu-satu putra keluarga, memiliki keleluasan dalam mengisi waktu luangnya, yang diisinya dengan memperdalam pengetahuan keagamaan. 

Kemudian muncul berbagai kejadian yang akan merubah kehidupan kaum Yahudi di Signet. Dimulai dari pengusiran pihak Hongaria terhadap kaum pendatang dari Signet, termasuk Moishe yang seorang imigran.  Beberapa bulan berlalu, entah dari mana Moishe muncul kembali, dalam kondisi yang sama sekali berbeda. Dan yang menyebabkan banyak orang memilih menghindari dirinya serta menganggapnya gila, karena ia membawa cerita aneh tentang pembantaian dan pembakaran semua rombongan yang terusir oleh tentara Gestapo. Tiada satu pun yang mau mendengarkan, apalagi mempercayai kisahnya. Saat itu menjelang akhir tahun 1942. Hingga pertengahan tahun 1944, berbagai berita tentang kekalahan Jerman menyeruak, memberikan harapan bagi kaum Yahudi. 

“Hitler takkan mampu menyakiti kita meskipun dia bermaksud demikian ... Membinasakan  seluruh etnis ? Menghapuskan penduduk yang sudah menyebar ke berbagai bangsa ? Orang Yahudi begitu banyak ! Dengan apa ia akan melenyapkan kami ? Di pertengahan abad ke-20 ini !”

Dalam kurun waktu beberapa hari, tentara Jerman memasuki kota, seminggu setelah Paskah, perintah-perintah baru dipasang, mulai dari tanda bintang kuning yang wajib dikenakan oleh semua kaum Yahudi, dan pembentukan kampung ghetto bagi mereka semua, di mana masing-masing harus mematuhi berbagai peraturan yang berlaku, jam malam, tidak boleh ada pertemuan dimana pun dan kapan saja, termasuk ibadat bersama. Semua menunggu hingga tiba waktunya. Dan ketika saatnya tiba, semua kaum Yahudi di penampungan harus pergi, meninggalkan semua harta benda miliknya (jika ketahuan masih membawa atau menyembunyikan harta benda, terutama emas, maka seketika akan dibunuh), berjalan kaki menuju suatu penampungan lain, tempat sementara sebelum mereka semua diangkut ke tujuan utama. 

"The Selection" : Left Row gets into slave labor, Right Row gets into gas chamber [ source ]
Kemudian mereka dipaksa memasuki gerbong-gerbong kereta api, satu gerbong berisikan 80-100 orang, yang harus berhimpitan, bertumpukan, tanpa ada tempat untuk sekedar duduk atau berbaring. Gerbong-gerbong yang ditutup rapat dan ditempuh dalam waktu beberapa hari, tanpa makanan maupun minuman. Dan ketika akhirnya mereka tiba di tujuan, suatu tempat yang bernama Auschwitz, gerbong yang ditempati Elie sekeluarga hanya ada sekitar 12 orang yang bertahan hidup. Belum sempat mereka bernafas lega, kaum pria dan wanita langsung dipisahkan di tempat (dan itu adalah saat terakhir bagi bocah Elie melihat ibu serta saudara-saudara perempuannya), dan seleksi masih berlanjut, yang terlalu muda dan terlau tua akan langsung dikirim ke tempat pembakaran. Yang dianggap cukup kuat dan memiliki keahlian khusus, akan masuk ke dalam kamp konsentrasi kerja paksa. Dan semenjak itu, ia tak memiliki nama atau identitas diri, hanya dikenal dan disebut sebagai A-7713, bocah berusia 15 tahun yang harus berbohong, mengatakan usianya 18 tahun agar selamat dari pembakaran.  

Dengan narasi yang sangat gamblang, Elie menuturkan sudut pandang kisah ini dari mata seorang bocah berusia 13 -14 tahun, bagaimana dirinya yang kuat, bersemangat dan mengabdikan diri serta keyakinan pada agama serta Tuhan yang Esa. Namun kenyataan memaksa dirinya harus menyaksikan pembantaian bayi-bayi yang dilempar ke tempat pembakaran. Atau tubuh-tubuh yang dilontarkan hanya sebagai permainan ‘tembak-sasaran’. Bagaimana para serdadu melihat para tawanan berebutan sepotong roti yang sengaja dilemparkan demi kesenangan menyaksikan mereka semua saling bunuh demi memperebutkan sesuatu yang tak akan mereka peroleh. Bahkan kenangan ini, kembali membayang di benaknya beberapa tahun kemudian ketika ia menyaksikan seorang wanita kaya dari Paris, menikmati pertunjukan dengan melemparkan koin dari atas kapal untuk diperebutkan oleh penduduk asli ... 

"all the victims that choose to be terminated" [ source ]
Elie memberikan suatu hal yang tak mudah dilupakan. Bukan hanya penyiksaan secara fisik yang membuat penderitaan para tawanan ini menjadi tak tertahankan, tetapi perampasan hak serta identitas diri mereka sebagai seorang manusia yang membuat pengharapan serta keinginan hilang dari manusia-manusia yang taat terhadap keyakinan serta ritual mereka. Sebagai seorang bocah yang seumur hidupnya meyakini bahwa Allah yang Esa akan menyelamatkan mereka yang setia padaNya, harus mengecap kepedihan serta kepahitan, bahwa nampaknya Setan telah menang di dunia yang ia tinggali. Tidak mungkin ada Allah yang tega membiarkan ribuan nyawa manusia tewas dalam pembantaian tiada akhir. Dimana keadilan 

“Untuk pertama kalinya , aku merasa amarah  muncul dalam diriku. Mengapa aku harus mengagungkan  nama-Nya ? Yang Maha Agung, Penguasa Semesta yang abadi dan jahat, yang memilih untuk diam. Mengapa kami harus  mengucap syukur pada-Nya ?” 
[ "Night" by Elie Wiesel | p. 49 ]

[ source ]
Propaganda serta cuci-otak yang diterapkan oleh Nazi terhadap para tahanan di kamp konsentrasi, membuat mereka kehilangan rasa manusiawi. Yang lemah langsung menyerah, memilih kematian daripada rasa tersiksa lebih lama. Yang kuat terpecah antara tetap bertahan pada keyakinan mereka atau berbalik mengikuti kehendak Nazi, menghujat Allah serta menjadi sekutu mereka, turut berperan serta dalam menyiksa anggota keluarga mereka sendiri dalam kamp konsentrasi. Sebagai seorang pemuda yang memiliki kekuatan tekad melebihi fisiknya, acapkalai Elie pun tergoda dengan pikiran untuk meninggalkan ayahnya, yang semakin tua dan lemah, menjadi beban bagi dirinya. Dan pada saat-saat itulah, ia berdoa hanya memohon kekuatan untuk tidak menjadi putra yang durhaka terhadap satu-satunya anggota keluarga yang masih ada disisinya.  

Membaca buku yang tidak terlampau tebal ini, namun penuh dengan berbagai narasi yang indah, sekaligus mencekam, diungkapkan tanpa tedeng aling-aling, Elie Wiesel melucuti setiap sudut  pikiran tergelap manusia yang putus asa dan kehilangan harapan melalui kisah perjalanan hidupnya. Sebagaimana kata pengantar yang ia tulis dalam edisi yang diperbaharui ini, tujuan utama penulisan buku ini bukan semata untuk membebaskan pikirannya yang tersiksa, tetapi juga membeberkan pada dunia agar tak pernah melupakan peristiwa ini dalam sejarah kehidupan manusia. Bukan untuk pembalasan dendam, tetapi sebagai Pengingat agar tiada lagi peperangan, pembantaian, pemusnahan umat manusia di dunia ini dengan alasan apa pun. 

Takkan pernah kulupakan malam itu, malam pertama di kamp yang mengubah hidupku menjadi malam panjang bersegel tujuh.
Takkan pernah kulupakan asap itu.
Takkan pernah kulupakan wajah-wajah mungil anak-anak yang tubuhnya menjelma menjadi asap di bawah langit yang bisu.
Takkan pernah kulupakan kobaran api yang telah menelan keyakinanku selamanya.
Takkan pernah kulupakan bisunya malam yang mencabut hasrat hidupku sepanjang masa.
Takkan pernah kulupakan saat-saat yang telah membunuh Tuhanku dan jiwaku, serta mengubah impianku menjadi abu.
Takkan pernah aku lupakan semuanya itu, bahkan bila aku dikutuk untuk terus hidup sepanjang umur Tuhan.
Takkan pernah.

[ source ]
Elie Wiesel, (30 September 1928) adalah penulis lebih dari 40 karya fiksi dan non fiksi, yang banyak mengundang tanggapan pembaca Internasional. Beliau memperoleh anugerah the Presidential Medal of Freedom, the United States of America Congressional Gold Medal, the French Legion of Honor, serta Nobel Peace Prize di tahun 1986, berkat peran aktif beliau dalam kampanye Perdamaian dan Perjuangan Hak Asasi Manusia, meskipun derita akibat Holocaust selalu membayanginya. Beliau juga mendapat penghargaan Profesor Andrew W. Mellon dalam bidang humaniora, dan menjabat sebagai profesor di University of Boston. 

[ source ]
Perjuangan beliau bukan hanya dalam mengingat kembali kenangan serta mimpi buruknya, menuliskannya dalam sebuah buku yang semula berbahasa Yiddi (bagian dari Germania yang menggunakan huruf Ibrani, dengan kosakata campuran antara bahasa Jerman, Ibrani, dan Slavia) dengan judul “Un di Velt Hot Geshvign” (Dan Dunia Tetap Bungkam), namun juga dalam mencari penerbit yang bersedia menerima naskah ini. Semua penerbit di Amerika, Inggris menolak untuk menerbitkan kisah yang dianggap kontroversial dan tidak akan laku. Ketika akhirnya ada yang bersedia menerbitkan dalam edisi bahasa Perancis, hasilnya sesuai dugaan tidak mendapat respons yang bagus di pasaran. 

Hingga François Mauriac – seorang penulis besar Prancis, pemeluk Katolik serta penyair peraih Nobel, melihat kembali dan berusaha meyakinkan Elie untuk me-revisi dan menerbitkan ulang naskahnya. Beliau turut memperjuangkan penerbitan naskah ini dan menggandeng Jérôme Lindon – kepala penerbitan Editions de Minuit yang disegani oleh khalayak penerbitan, hingga akhirnya keluarlah edisi terbaru buku dengan judul “Night : A Holocaust Story”. Elie yang pada awalnya tidak memahami bahasa Inggris, mempelajari bahasa ini dengan bantuan istrinya Marion Wiesel, mampu melihat banyak kekurangan dan bagian yang tak tersampaikan sesuai kenyataan dalam terbitan pertama. Dan melalui edisi terbaru yang bukan hanya di-revisi tetapi disertai tambahan serta buah pikiran Elie dalam proses pengerjaan naskah ini, memberikan kesempatan kedua bagi Elie untuk ‘berbagi’ pada dunia, beban serta tanggung jawab yang ia pikul sebagai salah satu yang Terselamatkan dari Neraka Holocaust. 

“Pada mulanya ada keyakinan, yang kekanak-kanakan, rasa percaya, yang sia-sia belaka; dan ilusi, yang membahayakan. Kami meyakini Tuhan, memercayai manusia, dan tinggal bersama ilusi bahwa setiap kaum kami telah diwarisi percikan suci dari nyala api Sang Shekhinah ; mata dan jiwa kami membawa pantulan dari gambaran Tuhan. Keyakinan itu adalah sumber atai sebab segala siksa ini.”

[ main source : wikipedia.org.  

Best Regards, 

Wednesday, October 31, 2012

Books "QUO VADIS ?"



Books “QUO VADIS ?”
Judul Asli : QUO VADIS – A NARRATIVE OF THE TIME OF NERO
Copyright © by Henryk Sienkienwicz
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa : Antonius Adiwiyoto
Desain Sampul : Satya Utama Jadi
Cetakan II : November 2009 ; 552 hlm 

Sepanjang sejarah kehidupan, Manusia – sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia karena diberkahi akal-budi untuk memilih kehidupan yang akan dijalani, memutuskan mana yang baik dan mana yang buruk. Sesuai dengan evolusi dan perkembangan, maka ciptaan-Nya semakin disempurnakan, secara fisik maupun mental. Akan tetapi kebebasan serta hak untuk memilih, justru banyak disalah-gunakan pada hal-hal yang tidak layak dan sangat tidak manusiawi, sesuai dengan akhlak dan kodrat masing-masing. Jika hanya segelintir manusia yang memiliki akhlak rendah, maka kehidupan akan terus berjalan. Namun bagaimana seandainya suatu bangsa yang besar, justru mengalami kejatuhan akan turunnya nilai-nilai moral, perilaku serta pikiran yang tiada bedanya dengan hewan atau makhluk yang lebih rendah derajatnya ?? 

[ source ]
Sejarah mencatat kebangkitan suatu bangsa muncul setelah terjadi tragedi atau musibah besar. Dan di antara sekian banyak kejadian, justru peran serta manusia itu sendiri yang menyebabkan terjadinya pemusnahan, pembantaian, dan pembenaran atas perilaku yang tidak manusiawi. Dengan alasan memperluas kekuasaan, memerintah serta memperbudak manusia-manusia lain, peperangan, pembunuhan dan penyiksaan dibenarkan secara ‘hukum-manusia’ dan salah satu alasan yang menyebabkan terjadi perang berkepanjangan adalah penyebaran agama, menghadapi aliran keyakinan kuno, terutama paganisme yang berputar pada politeisme, animisme dan dinamisme. Salah satu pendobrak aliran ini dimulai ketika terjadi penyebaran agama Kristen - tugas para rasul setelah Kebangkitan Kristus, memperbaharui janji akan dunia baru, pengampunan serta kehidupan yang kekal di sisi Allah yang Tunggal.  

Preview :
Kisah dibuka ketika Petronius – mantan gubernur dan anggota kehormatan Dewan Romawi, kesayangan Caesar Lucius Domitius Ahenobarbus atau yang dikenal sebagai Nero, karena kemampuan serta kesukaan Petronius akan seni serta keindahan, membuat dirinya dijuluki sang Penilai Keindahan, dan ia mendapat kunjungan tak terduga dari kemenakannya Vinicius  Muda. Pemuda tampan dan menarik ini baru kembali ke Roma setelah mengikuti pasukan Corbulo, dan ia memiliki permohonan pada sang paman yang memiliki pengaruh serta kekuasaan demi tercapainya impian terpendam yang menggebu-gebu dalam dirinya. Vinicius jatuh hati pada Callina atau yang lebih dikenal sebagai Lygia – putri angkat Aulus Platius dan Pomponia Graecina. 

[ source ]
Kesulitan terjadi karena Lygia bukan bangsa Romawi, melainkan keturunan Raja bangsa Lygia (=sekarang disebut sebagai bangsa Polandia) yang pernah menjadi sekutu sekaligus tawanan perang. Setelah perang lama usai, Lygia sebatang kara, dan dibawa ke Roma, dirawat serta dibesarkan oleh Aulus dan Pomponia yang menyayanginya bagai putri  kandung mereka. Karena perbedaan status, tidak layak jika gadis ini dijadikan seorang istri bagi Vinicius yang keturunan terhormat bangsa Romawi. Namun tidak mungkin pula Aulus menyerahkan putrinya sebagai selir / gundik Vinicius, apalagi keluarga mereka dikabarkan menganut aliran ‘Kristen’ yang dianggap aneh bagi para petinggi Roma. Karena kondisi inilah, Vinicius meminta pertolongan Petronius yang memiliki banyak akal serta muslihat. 

Petronius sangat sayang pada Vinicius, maka ia mengatur sebuah rencana terselubung yang nantinya akan membuat Lygia menjadi ‘milik’ Vinicius. Melibatkan peran serta perintah Caesar Nero, Lygia ditahan di kediaman Caesar untuk nantinya diberikan sebagai hadiah kepada pemuda yang sedang mabuk kepayang. Yang tidak mereka ketahui atau dengan sengaja menutup mata, bahwa Lygia bukan gadis biasa. Ia dibesarkan dan dididik secara Kristen oleh keluarga angkatnya, sehingga hatinya bersih, tidak menyukai bahkan cenderung muak pada pesta pora dan kebiasaan hidup para pejabat Roma. Meski di dalam lubuk hatinya, ia juga tertarik pada Vinicius, namun ia tak mau mengorbankan prinsip hidupnya dengan menjadi selir Vinicius. Maka saat Petronius dan Vinicius menanti iring-iringan tandu yang membawa ‘selir-baru’ ke kediamannya, Lygia dibantu pelayan setianya Ursus serta kelompok Kristen, melarikan diri, bersembunyi dalam lindungan para penganut dan simpatisan Kristen. 

[ source ]
Pelarian Lygia berdampak pada kemarahan Nero yang nyaris menghukum pasangan Aulus dan Pomponia, karena dianggap mereka berperan serta dalam aksi pemberontakan itu. Dan dampak yang paling hebat adalah Vinicius yang nyaris gila dalam usahanya menemukan wanita pujaan hatinya. Pemuda yang semula mabuk kepayang, akhirnya murka akibat penolakan Lygia. 

[ source ]
Hal ini mendorong dirinya untuk menempuh segala cara, menemukan wanita itu dan membalas penghinaan yang ia lakukan. Petronius yang melihat kejatuhan moral serta pikiran Vinicius berusaha mencegah, namun kebulatan tekad pemuda yang putus asa itu, tak mampu dibendung. Kemudian melalui Eunice – budak setia Petronius, mereka bertemu dengan Chilo Chilonides – seorang peramal yang menjanjikan mampu mencari persembunyian Lygia yang bagai lenyap ditelan bumi. 

Penyelidikan Chilo membawa mereka ke pertemuan rahasia kaum Kristen, dan setelah menunggu sekian lama, akhirnya suatu hari, mereka berhasil menemukan di mana Lygia berada. Membawa seorang pengawal dan disertai Chilo, Vinicius menyusup dalam tempat persembunyian dan melarikan Lygia yang terkejut. Namun Ursus yang tak pernah melepaskan putri lindungannya, mampu membunuh sang pengawal dan nyaris membunuh Vinicius jika tidak dicegah oleh Lygia. Vinicius berada pada posisi yang terbalik, kini ia terluka parah dan menjadi tawanan.

[ source ]
Dalam proses penyembuhan dan pemulihan, Vinicius bertemu dengan sebagian pelindung dan teman-teman Lygia, orang-orang yang dengan sepenuh hati merawat dan membantu pemulihan dirinya. Vinicius terheran-heran akan kebaikan serta kemurahan hati orang-orang tersebut. Bahkan ketika ia berhadapan Rasul Petrus, mendengarkan ajaran-ajaran yang diberikan sepotong demi sepotong di tengah kondisi setengah sadar. Walau ia tak mampu langsung memahami pemikiran para pemeluk agama ini, namun secara perlahan, hal itu berpengaruh pada dirinya, menimbulkan pergolakan dalam hatinya.

“...dia mendengar khotbah bahwa orang bahkan harus mengasihi musuhnya. Tapi menurut pendapatnya itu hanya teori belaka. Dalam hidup sesungguhnya, itu takkan terjadi. Pahala apa yang diinginkan orang-orang ini? Vinicius berpendapat bahwa kehidupan orang Kristen di dunia yang mengesampingkan hartabenda dan kesenangan hanya merupakan hidup yang menyedihkan. Tetapi ada hal-hal yang mengherankan : wajah setiap orang berseri-seri, air muka mereka memancarkan suka cita yang sangat besar, ketika orang yang seharusnya dibunuh karena bersalah, dilepaskan dan diampuni kesalahannya...” 
[ p. 209 ]
[ source ]
Sementara Vinicius dalam pemulihan, Petronius yang berangkat mendampingi Nero beserta para pendukungnya, berjalan-jalan mengunjungi wilayah Yunani, tempat-tempat yang disukai oleh Nero dan membuat pesta pora di mana pun mereka berkunjung. Petronius mencemaskan kondisi Vinicius, tetapi ia juga harus mempertahankan status sosialnya, terutama dengan adanya pihak-pihak yang iri dengan kedekatan dirinya terhadap Nero. Salah satu yang paling giat melawan Petronius adalah Tigellinus – Kepala Pasukan Pengawal Praetoria, yang bersedia melayani apa pun permintaan Nero demi menjamin posisinya sebagai kepercayaan Caesar. 

Ketika akhirnya Vinicius mampu kembali ke kediamannya, ia telah berubah. Ajaran dan perilaku sehari-hari kaum Kristen yang disaksikan semasa pemulihannya, membuat ia mempertanyakan arti kehidupan yang selama ini ia jalani. Kegelisahan hatinya kini bukan diakibatkan kemarahan dan cemburu buta, namun pada keyakinan suatu janji akan kehidupan baru yang lebih membahagiakan jiwa serta batin manusia. Kini ia tak mampu membangkitkan minat pada undangan pesta pora yang diadakan oleh kaum terhormat Romawi. Petronius meski tetap menyayangi dirinya, tak mampu menyelami pemikiran Vinicius yang baru ini. Ketertarikan Petronius akan agama Kristen beserta pemeluknya, sebatas berhubungan dengan Vinicius dan mempelajari sesuatu yang baru, tanpa bertujuan menjalaninya. 
[ source ]
“Aku tahu penghiburanmu terletak dalam Kristus. Tapi aku tidak mengerti apa artinya,” kata Vinicius. “Bagi kami tidak ada perpisahan, sakit, maupun penderitaan. Kalau memang ada, segera akan berubah menjadi kegembiraan. Maut sendiri yang bagimu berarti akhir kehidupan, bagi kami orang Kristen berarti awal kehidupan. Maut merupakan perubahan dari kesengsaraan menjadi kebahagiaan tanpa batas, dan sifatnya kekal,” jawab Lygia. 
[ p. 219 -202 ]

Conclusion :
[ source ]
Even the main character of this stories, Marcus Vinicius and Lady Lygia, this not all about their relationships. The author puts them to connect with the history between reality and fictional. The main historical theme is about the journey of Christianity and its people who had to  choose between their life or their religion, something that not acceptable by Romans who still believe in many gods than one God. 

The setting was City of Rome under the rule by Emperor (Caesar) Nero around AD 64. Conflict start to build around the relationship between Lady Lygia from the Lygia’s Heirs (its Poland now) who also secretly life as a Christian, then a young Roman patrician named Marcus Vinicius falling in love with her, even possesed to own her as a mistress. Afraid of being mollested, Lady Lygia runaway from Caesar’s orders, makes her and everyone who helps her pursue as traitor to Emperor. 

[ source ]
But God’s will speak differently, when Vinicius path while pursue woman of his dreams to revenge, come across with Christian people, meets and learn about becoming Christian from Saint Peter and Saint Paul. Saint Peter – the first student of Christ, who had been active and provocative leader of Christianity since The Christ Rise, really influence Vinicius perspective about the most important in life. With the exampler of Saint Paul boldness, as former Christian-hater who become faithful believer, this stories would also give another inside-perspective to the readers. 

[ source ]
I’m baptist as an Catholic, learn about Bible and its history since very young age. But reading this ‘historical-fiction’, knowing that this is fictional, yet my heart so trouble while seeing the episode who discribe so vivid by the author. The drama, the tragedy, how this crazy-egomaniac Emperor can adjust the burning of the city full of people who he didn’t like ‘cause its against ‘beauty and sense of art’ --- and when its out of control, everyone involve doesn’t have a courage to confess, instead looking some else to blame, then the hatred arise, burning like a flame, searching an escape tunnels to burn another victim. 
If you ever watch movies like Gladiator, Spartacus or Ben Hur, mostly the great and glamour feeling will erase the brutality of the scene. Believe me, when you reading this book, you’re not gonna easily forgot the image of people killing people just to entertaint the audience (how even they can watched it again and again that beyond my mind) --- even there’s a scene, contest between audience who had stomatch and stay until the masacre finished (and this masacre can be taking days to finished).

[ source ]
But beyond all the worse parts, this stories give something else too, God’s promise to its people --- everyone else, from children to oldest, from peasant to respectable, beggars to royal family, men and women, that if they confess and claimed Him as the only God they believe, no matter what happen, when the time is come-there’s a place for them on His side in Heaven. “Quo Vadis, Domine” __ is Latin phrase for ‘Where are you going, Lord ?’   and alludes to the apocryphal Acts of Peter, in which Saint Peter flees Rome but on his way meets Jesus and asks him why he is going to Rome. Jesus says "I am going back to be crucified again", which makes Peter go back to Rome and accept martyrdom.
5 star to Quo Vadis by Henryk Sienkienwicz.

About Author :
Henryk  Adam Aleksander Pius Sienkienwicz  ( May 5, 1846 – November 15, 1916 ) was a Polish journalist and one of the most popular Polish writers at the turn of the 19th and 20th centuries. Born into an impoverished noble family Russian-ruled Poland. He wrote several historical novels set during Commonwealth ( Polish Republic ), and many of them first serialized in newspapers. In Poland, he is best known for his historical novels such as “With Fire and Sword”, "The Deluge", and "Fire in the Steppe" (The Trilogy) set during the 17th-century Polish-Lithuanian Commonwealth, while internationally he is best known for Quo Vadis, set in Nero's Rome. Quo Vadis has been filmed several times, most notably the 1951 version.

[ source ]
Quo Vadis : A Narrative of the Time of Nero is a historical novel based on Roman Empire with very much detail and accuracy, makes this novel also carries an outspoken pro-Christian message . First published in three separated  Polish edition in 1895, then came out in book form in 1896 and since then has been translated into more than 50 languages. This epic-novel contributed on Sienkiewicz’s Presticious Award : The Nobel Prize for Literature in 1905, for his “outstanding merits as an epic writer.” Several adaptations have been made based on this book, including the 1951 Hollywood Production on Quo Vadis and the 2001 adaptation by Jerzy Kawalerowicz.  

[ more about this author, check on here : Henryk Sienkiewicz | about his works, check on here : Project Gutenberg | about book adaptation, check on here : IMDB ]

EVENT BACA & POSTING BERSAMA BBI : Oktober 2012 dengan Tema 'Books by Nobel Prize Winners' 

List of Participants of this Event : 
  1. Fanda | BELOVED by Toni Morrison 
  2. H. Tanzil | ISTANBUL by Orhan Pamuk 
  3. Maria | QUO VADIS by Henryk Sienkiewicz 
  4. Dion | ONE HUNDRED YEARS OF SOLITUDE by  Gabriel Garcia Marques
  5. Ally | JUST SO STORIES by Rudyard Kipling
  6. Maria | IMPERIAL WOMAN by Pearl S. Buck
  7. Maria | KIM by Rudyard Kipling 
  8. Sinta | IMPERIAL WOMAN by Pearl S. Buck 
  9. Bzee | THE STRANGER by Albert Camus    
  10. Melisa | GITANJALI : SONG OFFERINGS by Rabindranath Tagore  
  11. Astrid | MY CENTURY by Gunther Grass 
  12. Fadhilatul | THE SUN ALSO RISES by Ernest Hemingway 
  13. Luckty | FIESTA by Ernest Hemingway   
  14. Desty | FATELESS by Imre Kertész
  15. Annisa | THE SOUND & THE FURY by William Faulkner  
  16. Eko | JUST SO STORIES by Rudyard Kipling 
  17. Stefanie | JUST SO STORIES by Rudyard Kipling 
  18. Mia | THE GOOD EARTH by Pearl S. Buck 
  19. Ferina | SNOW by Orhan Pamuk 
  20. Dewi Sidik | DISGRACE by J.M. Coetzee 
  21. Alvina | JUST SO STORIES by Rudyard Kiplin
  22. Azia Azmi | WAITING FOR THE BARBARIANS by J.M. Coetzee 
  23. Rati | THE PROTECTOR by  J.M.G. Le Clezio
  24. Dessy | SNOW COUNTRY by Yasunari Kawabata
  25. Ana | BELOVED by Toni Morrison 
  26. Sabrina | THE GOOD EARTH by Pearl S. Buck 
  27. Helvry | CALDAS by Gabriel Garcia Marquez  
  28. Indah Tri Lestari | THE WHITE CASTLE by Orhan Pamuk 
  29. Enggar | LORD OF THE FLIES by William Golding 
  30. Dani | MEMORIES OF MY MELANCHOLY WHORES by Gabriel Garcia Marquez
  31. Dewi | THE LATE MATTIA PASCAL by Luigi Pirandello 
  32. Indri | THE NEW LIFE by Orhan Pamuk 
  33. Tezar | ISTANBUL by Orhan Pamuk 
  34. Tezar | IMPERIAL WOMAN by Pearl S. Buck   
Best Regards,