Judul Asli : UNCLE TOM’S CABIN
Copyright © Harriet Beecher Stowe
Penerbit : PT Serambi Ilmu Semesta
Alih Bahasa : Istiani Prajoko
Editor : Adi Toha &
Dian Pranasari
Cover by IG Grafix
Cetakan I : Juli
2011 , 612 hlm
[ source ] |
Sudah lama sekali buku yang satu ini berada di dalam
tumpukan timbunan koleksi bukuku (penyakit bookaholic, suka belanja tapi waktu
untuk membaca dan membuat review selalu tertunda), hingga pertengahan September
lalu, diriku ‘terbawa arus’ mengikuti Reading Challenge : Read-Along-Gone With
The Wind by Margaret Mitchell (yap, benar sekali saudara-saudara, buku setebal
bantal nan berat lagi, bisa dibuat ganti dumble buat latihan haha). Ok, singkat
cerita topik dan latar belakang kisah ini berkaitan dengan Perang Saudara di
Amerika dan di dalamnya disebut pula buku ‘Uncle Tom’s Cabin’ ini sebagai salah
satu pencetus timbulnya perang berkepanjangan. Maka dari rasa penasaran dan
ingin-tahu yang besar, akhirnya bulan Oktober ini kumulai membacanya.
Di luar dugaan semula, ternyata kisah ini jauh lebih
menarik dan sangat berkesan. Biasanya diriku lumayan cepat dalam menyelesaikan
sebuah bacaan, namun untuk kali ini justru membutuhkan waktu yang cukup lama –
bukan karena termasuk bacaan yang sulit dipahami, tetapi karena ‘sangat-bagus’
hingga beberapa kali kubaca ulang halaman-halaman awal, untuk memperoleh
‘perasaan yang lebih dalam’. Kisah yang dituturkan bukanlah kisah yang
dramatis, tetapi merupakan pencerminan kehidupan nyata manusia, jika dalam
beberapa bagian Anda nantinya menemukan penggambaran yang berkesan brutal, keji
dan tidak manusiawi, justru di sanalah kita akan disadarkan betapa lemahnya
manusia sehingga mudah dipengaruhi hal-hal yang menjatuhkan akhlak dan nalar
sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Namun kisah ini juga
memberikan porsi yang adil, jika di satu sisi kelemahan dan pikiran yang picik
mampu menjerumuskan manusia, ada pula sisi-sisi lain, yang menguatkan iman,
keyakinan serta moral dalam menghadapi ujian-ujian terberat.
~ The slave-separation between family, mostly among children and their parents ~ [ source ] |
Ini adalah kisah tentang kaum kulit hitam di Amerika
menjelang abad ke-19. Perbudakan merupakan suatu budaya yang telah berjalan
selama berabad-abad, sehingga bagi mayoritas, baik para budak maupun sang
pemilik, ini merupakan budaya dan kebiasaan yang sudah mendarah-daging,
diturunkan dari orang tua kepada anak-cucunya. Menjadi seorang budak berarti
tidak memiliki hak atas diri sendiri. Bahkan masa depan seperti menikah,
memiliki keturunan, semua harus mengikuti perintah sang pemilik. Ibarat hewan
peliharaan, nasib para budak ini seringkali justru lebih buruk daripada hewan
ternak. Meski demikian, ada pula orang-orang yang memiliki belas kasih dan
kebaikan di dalam hati mereka, sehingga budak-budak yang dimiliki, menerima
perlakuan yang lebih baik, kehidupan yang lebih nyaman dan terjamin
dibandingkan mereka yang bernasib buruk.
Namun satu hal yang menjadi pokok permasalahan pemicu
terjadinya peperangan. Sebaik apa pun perlakuan para tuan tanah terhadap para
budaknya, mereka tetap tidak bisa
memiliki satu hal : Kebebasan. Tetapi sebelum Anda menjatuhkan vonis bahwa para
tuan tanah adalah komplotan bedebah yang lalim dan para budak adalah korban
yang harus ditolong, hendaknya simak terlebih dahulu kisah ini, karena tiada
garis batas yang jelas antara hitam dan putih, seringkali justru kita akan
dihadapkan pada ‘grey-area’ untuk
menguji sejauh mana kita berani mengambil keputusan ke mana akan melangkah.
Karena semua ada konsekuensi serta resiko yang berbeda, pertanyaannya
bersediakah kita menanggung tanggug jawab terhadap diri sendiri ?
~ Eliza told Uncle Tom's before she runaway | Illustration by Hammatt Billings ~ [ source ] |
Mr. Shelby adalah seorang tuan tanah yang cukup berhasil
sekaligus baik hati sehingga para budaknya menyukai serta menghormati beliau
beserta istri dan anaknya. Sayang kebaikan hatinya tidak disertai dengan
keahlian dalam menangani masalah keuangan. Hingga beliau terlibat hutang dan
harus meminjam dari Mr. Haley – orang yang pandai memanfaatkan situasi untuk
mengeruk keuntungan sebanyak-banyak. Karena hutang itulah Mr. Shelby harus
menjual budaknya. Yang dipilih oleh Mr. Haley adalah Old Tom – budak yang telah
mengabdi semenjak kanak-kanak pada Mr. Shelby. Tom adalah pria yang istimewa,
karena ia bukan hanya setia tetapi juga jujur, memegang keyakinan terhadap
Tuhan sebagai pemeluk agama Kristen yang taat. Selain itu Mr. Haley mengincar Harry
– bocah lincah berusia 5 tahun, putra Eliza, budak kesayangan Mrs. Shelby. Eliza
yang tidak sengaja mendengarkan pembicaraan tuannya, menjadi sangat ketakutan
akan nasib putranya. Meski Mrs. Shelby menjamin bahwa suaminya tidk akan berani
melakukan hal seperti itu, Eliza bertekad menyelamatkan hidup mereka, apalagi
setelah mengetahui bahwa suaminya, George – seorang budak milik Mr. Harris,
tetangga Mr. Shelby, berencana melarikan diri ke Kanada demi mendapatkan
perlakuan serta masa depan yang lebih baik.
Baik Eliza maupun George merupakan budak mulato, atau
keturunan campuran antara kulit hitam dan kulit putih, membuat mereka tampak
berbeda dengan budak di ladang, namun tetap tidak setara dengan orang kulit
putih. Kondisi para budak mulato (mungkin sekarang bisa disebut sebagai
‘blasteran’) seringkali justru tidak dapat diterima di kedua belah pihak, kulit
putih maupun kulit hitam. Eliza masih sedikit lebih beruntung karena tuannya,
terutama Mrs. Shelby, menyayangi dirinya dan memberikan pendidikan serta
kenyamanan melebihi budak ladang atau peternakan. Sedangkan George yang sangat
pandai hingga mampu menciptakan perangkat mesin, justru menjadi sumber rasa iri
dan dengki tuannya, Mr. Harris yang tak rela seorang budak campuran memiliki
kecerdasan dan keahliaan melebihi dirinya. Hal ini membuat George dipaksa dan
disiksa melakukan pekerjaan kasar yang suatu saat pasti akan merenggut
nyawanya. Bayangan masa depan inilah yang membulatkan tekad George untuk
melarikan diri ke Kanada – tempat dimana proteksi perlindungan dan kebebasan
untuk menjalani hidup diberikan bagi para budak.
Eliza 'leap' across frozen river, running away from the slave-hunters [ source ] |
Eliza yang melihat tak seorang pun dapat membantu
kondisinya, memutuskan untuk meyusul sang suami, membawa putranya melarikan
diri ke Kanada. Di sisi lain, ketika ia memberi tahu Tom akan keputusan tuan
mereka, Tom justru tak bersedia meninggalkan tanggung jawab serta kewajibannya
terhadap Mr. Shelby – yang telah dilayani semenjak kanak-kanak. Tom memiliki
prinsip dan keyakinan yang teguh, bahwa hutang serta balas budi patut mendapat
perlakuan yang sama. Jika tuannya hendak menjual dirinya sebagai pembayaran
hutang, maka ia wajib mengikuti hal itu, meski bertentangan dengan hatinya. Ia
percaya bahwa Tuhan tidak akan meninggalkan hamba-Nya, dan apa pun yang terjadi
pada dirinya di masa depan, itu semua adalah kehendak-Nya.
Kisah bergulir pada perjalanan Eliza dan putranya Harry,
serta George yang juga sedang dalam pelarian, tanpa mengetahui nasib istri dan
putranya. Mereka melarikan diri dari kejaran para pemburu budak buron yang keji
dan tak pernah berhenti hingga mereka semua ditangkap. Dari wilayah Kentucky,
mereka menempuh berbagai bahaya, beberapa kali nyaris tertangkap, tanpa bekal
yang cukup, harus mencari jalan menuju wilayah Kanada. Eliza yang harus
memikirkan kondisi anaknya, berjuang melebihi kekuatan dirinya, demi
keselamatan dan kebebasan serta masa depan yang lebih baik untuk Harry. Kawanan
pemburu budak buron yang tergiur oleh imbalan uang serta kesempatan untuk
‘bersenang-senang’ dalam perburuan, semakin mendekati berbagai tempat
persembunyian mereka. Beruntung masih ada orang-orang dari kaum abolisionis –
penentang perbudakan, dan berkat kerjasama dari kelompok Quaker, rencana
pelarian para budak dilakukan secara seksama dengan bantuan serta support
sepenuhnya.
~ Little Eva & Uncle Tom ~ [ source ] |
Semantara itu, Tom yang dibeli dan dibawa oleh sang
pedagang budak, turut mengikuti lelang budak dan yang akan dikumpulkan sebagai tenaga kerja di
ladang, atau diperjual-belikan antar kaum kulit putih. Segala sesuatu ada
harganya, bahkan seorang bayi berusia 10 bulan, diambil tanpa sepengetahuan
ibunya, hanya demi mendapatkan keuntungan semata, meninggalkan sang ibu dalam
kondisi patah-hati hingga memutuskan terjun ke Sungai Mississippi yang dalam.
Dalam perjalanannya menuju New Orleans, di atas kapal uap La Belle Riviere
inilah – Tom bertemu dengan gadis cilik berusia 5 tahun bernama Eva, putri
tunggal St. Clare – pria kaya raya asal New Orleans. Persahabatan unik diantara
2 insan yang berbeda usia serta latar belakang ini, berlanjut ketika St. Clare
membeli Tom atas permintaan Eva, terutama semenjak Tom menyelamatkan nyawa Eva
yang terjatuh dari atas kapal dan nyaris tewas
tenggelam, jika tidak ada Tom yang sigap terjun menolong dirinya.
Kehidupan baru Tom di kediaman St. Clare di New Orleans, yang bukan saja mewah,
namun kebaikan serta keramahan St. Clare serta persahabatan yang ditawarkan
oleh Eva, membuat Tom senantiasa bersyukur atas berkat yang diberikan
kepadanya.
Namun sebagaimana kehidupan terus bergulir, sebagaimana
pepatah mengatakan, suatu hari dirimu berada di posisi puncak, keesokkan
harinya dirimu bisa berada di posisi terbawah, karena roda kehidupan terus
bergulir. Tom yang tetap rindu dan terkadang kesepian jika mengingat keluarga
yang ditinggalkan di Kentucky, bersyukur atas kehidupan baru di New Orleans.
Semuanya berkat hadirnya Eva – gadis cilik yang meski sangat muda, memiliki
empati serta kebijaksanaan melebihi orang dewasa. Ia merupakan kesayangan semua
penghuni, bagai seorang malaikat mungil, bukan karena penampilan luarnya,
tetapi karena pencerminan isi hatinya yang penuh kasih terhadap siapa saja
tanpa pandang bulu. Kemudian tragedi mengerikan terjadi, merenggut kebahagiaan
serta kedamaiaan di kediaman tersebut. Sekali lagi nasib para budak termasuk
Tom harus berubah, akankah menjadi lebih baik atau justru lebih buruk dari
kehidupan-kehidupan mereka sebelumnya ?
My Random Though :
~ Uncle Tom struggle with his Faith ~ [ source ] |
This is a story about slavery, but while reading it, I
found my self ‘stranded’ even blend into this interesting characters. The
previews said that this book had become an controvercy-issue, even President
Abraham Lincoln who known as the man behind American Civil War so inspired by
this story. When I’m expecting something so awful, vivid, brutal, all related
topics about slavery, this book offers more, there’s kindness, dignity, honor,
respect and totally faith in trusting the Lord Almighty. I’m already reading so
many books, some of them was just ok, several of them indeed really good. But
this story was beyond that, I found my self really ‘move’ deep inside.
Generally when you reading about uglyness, or topics like slavery, the words
‘bitterness’ always came in our mind. And this book just did the opposite, the
side-effect while reading it until finished it, makes me even thankfull and
really bless by His Wisdom, that spread entire pages. If I can quote and every
phrase in this book, it merely opening several verse from the Bible. This words
are so beautiful and full deep though, just coming up open between page, yet
the authors can put it in very simple words. Nothing more I can say about this
book than its the most amazing stories I’ve ever read so far. This book will
makes you cry and laugh, hate and love, sad and happy, all in the same phrase.
[ source ] |
Tentang Penulis :
Harriet Beecher Stowe ( 1811 – 1896 ), lahir di Lichfield, Connecticut, dan masih kecil ketika ibunya meninggal. Ia bersekolah di sekolah kakak perempuannya Catharine’s Hartford Female Seminary, dan bekerja sebagai guru sebelum pindah bersama keluarganya ke Cincinnati, Ohio pada tahun 1832. Di sana ia kembali mengajar, bergabung dengan kelompok sastra, dan mulai menulis untuk diterbitkan. Kepindahannya ke “Barat” ini memungkinkan dirinya berkembang lebih pesat daripada di kampung halamannya di New England, sehingga ia mulai dikenal sebagai penulis di tingkat nasional. Pada tahun 1836, ia menikah dengan Calvin Stowe. Mereka memiliki tujuh anak. Pada tahun 1850, Charley – putra bungsu Stowe, meninggal karena kolera. Masih berdukacita atas kematian bayinya, Stowe kembali ke New England, dan – seperti yang dikatakan oleh feminis modern – menyampaikan pandangan politiknya dengan menyalurkan kesedihannya menjadi kritik pedas terhadap kekejaman perbudakan dan “Fugitive Slave Law” (Undang-Undang Budak Buron) yang mewajibkan siapa saja untuk membantu pemburu budak.
Harriet Beecher Stowe ( 1811 – 1896 ), lahir di Lichfield, Connecticut, dan masih kecil ketika ibunya meninggal. Ia bersekolah di sekolah kakak perempuannya Catharine’s Hartford Female Seminary, dan bekerja sebagai guru sebelum pindah bersama keluarganya ke Cincinnati, Ohio pada tahun 1832. Di sana ia kembali mengajar, bergabung dengan kelompok sastra, dan mulai menulis untuk diterbitkan. Kepindahannya ke “Barat” ini memungkinkan dirinya berkembang lebih pesat daripada di kampung halamannya di New England, sehingga ia mulai dikenal sebagai penulis di tingkat nasional. Pada tahun 1836, ia menikah dengan Calvin Stowe. Mereka memiliki tujuh anak. Pada tahun 1850, Charley – putra bungsu Stowe, meninggal karena kolera. Masih berdukacita atas kematian bayinya, Stowe kembali ke New England, dan – seperti yang dikatakan oleh feminis modern – menyampaikan pandangan politiknya dengan menyalurkan kesedihannya menjadi kritik pedas terhadap kekejaman perbudakan dan “Fugitive Slave Law” (Undang-Undang Budak Buron) yang mewajibkan siapa saja untuk membantu pemburu budak.
[ source ] |
Sebagai seorang anak perempuan, adik perempuan, istri dan
ibu pendeta, dalam berbagai tulisannya Stowe mengungkapkan pandangan
tokoh-tokoh gereja yang saling bertentangan pada generasinya. Dengan menuliskan
dukacitanya yang mendalam, ia memulai kisah Paman Tom – seorang budak kulit
hitam. Kisah ini diterbitkan secara berseri dalam surat kabar antiperbudakan.
Baik Amerika maupun dunia, belum pernah melihat cerita seperti ini. Maka kisah
Uncle Tom’s Cabin yang rilis pada tahun 1852, menjadi buku laris Amerika
pertama yang dikenal oleh dunia luas. Dan Harriet Beecher Stowe menjadi penulis
Amerika yang paling terkenal. Tahun berikutnya, untuk menjawab serangan serta
berbagai pertanyaan terhadap keakuratan fakta novelnya, Stowe menerbitkan A Key
to Uncle Tom’s Cabin yang mengungkapkan identitas sumber-sumbernya. Novel
berikutnya yang juga antiperbudakan berjudul “Dred : A Tale of the Great Dismal
Swamp” yang terbit pada tahun 1856.
[ source ] |
Pengaruh kisah ini merubah berbagai pandangan, dari segi
kemanusiaan termasuk politik, sosial budaya dan perekonomian dunia, terutama di
bidang seni dan literatur. Berbagai adaptasi dibuat dari kisah ini, mulai film
bisu, drama teater, film layar lebar, serial TV, termasuk perusahaan sekelas
Walt Disney turut membuat versi animasi dengan mengambil tema kisah ini. Selain
itu juga memberi inspirasi akan munculnya kisah-kisah serupa, dengan tema
penindasan serta pelanggaran hak-hak asasi manusia. Selama lebih dari 20 tahun,
Stowe menerbitkan sejumlah novel berkualitas. Beliau wafat di Hartfort pada
tahun 1896.
[ More about this author and her related works or
adaptation based on her books, check on here : Harriet Beecher Stowe | UncleTomCabin | Wikipedia
]
Best Regards,
wah mbak..
ReplyDeleteaku skip baca reviewnya, jadi pengen baca :)
aku juga udah baca ini dan memang bagus..pandangan orang utara mengenai slavery..makanya pas baca gone with the wind jadinya nyambung deh
ReplyDeletesalah satu buku yang dulunya pengen bangeeeet punya, tapi begitu punya ternyata malah terlantar di rak. Berharap segera baca setelah liat reviewnya yang menggiurkan
ReplyDelete