Books “Memoar Seorang Geisha”
Judul Asli :
MEMOIRS OF A GEISHA
Copyright © 1997 by Arthur Golden
Penerbit
Gramedia Pustaka Utama
Alih
Bahasa : Listiana Srisanti
Cetakan
XI : Desember 2007 ; 496 hlm
[ Review
in Indonesia & English ]
[ Period : 1930 ] ~ [ Setting : Yoroido – Kyoto ; Japan ]
~ [ Facts : History about the living of geisha community in Gion District,
Kyoto ]
Awal
pembukaan kisah cukup menarik, dimulai dengan kata pengantar berjudul ‘Catatan
Penerjemah’ yang anehnya berbeda dengan nama alih bahasa di edisi terjemahan
ini, namun sambil melanjutkan halaman demi halaman, dan melalui hasil wawancara
dengan sang penulis, ternyata memang kondisi ini disengaja, untuk mendekatkan
pembaca dengan penuturan lewat sudut pandang orang pertama : sosok Sayuri –
tokoh utama kisah ini, dengan perantaraan orang kedua, yaitu ‘sang penerjemah’,
yang dituturkan bagaikan sebuah memoar. Ini adalah sebuah kisah fiksi yang
memperoleh banyak masukan dari gambaran kehidupan nyata para geisha di era
tahun 1930-an. Meski sebuah fiksi belaka, namun banyak kebenaran di dalamnya,
fakta-fakta yang selama ini tersembunyi dalam suatu komunitas kehidupan yang
penuh dengan kontroversi serta skandal.
Tokoh
utama dalam kisah ini adalah gadis cilik bernama Chiyo – putri kedua pasangan nelayan
miskin Minoru Sakamoto dari pernikahannya yang kedua. Ia memiliki kakak
perempuan bernama Satsu yang berbeda usia 7 tahun. Jika Satsu sangat mirip
dengan ayah mereka, maka Chiyo mirip sekali dengan ibunya, terutama sepasang
mata besar berwarna kelabu transparan, sesuatu yang langsung menarik perhatian
dimana sebagian besar warna mata di Jepang adalah gelap atau kecokelatan. Kehidupan
Satsu dan Chiyo mengalami perubahan besar, ketika salah satu pengusaha besar di
wilayah tersebut, Tuan Ichiro Tanaka bertemu dengan Chiyo secara tak sengaja.
Chiyo yang sangat terkesan dengan keramahan serta penampilan Tuan
Tanaka, memiliki harapan dan impian, bahwa ia serta keluarganya ‘diadopsi’ oleh
Tuan Tanaka. Dan suatu hari, impian tersebut terjadi, Satsu serta Chiyo
dipanggil untuk segera menghadap Tuan Tanaka di kota. Tanpa sempat berpamitan
dengan sang ibu yang tergolek sakit, hanya mengucapkan sepatah-dua patah kata
kepada sang ayah yang tampak semakin sedih dan layu pada hari-hari terakhir,
kedua gadis itu segera menemui Tuan Tanaka, yang langsung membawa mereka ke
stasiun kereta api, menyerahkan keduanya kepada sosok asing
bernama Tuan Bekku yang tampak menyeramkan.