WELCOME

For everyone who love classical stories
from many centuries until millenium
with some great story-teller around the world
these is just some compilation of epic-stories
that I've read and loved so many times
... an everlasting stories and memories ...

Translate

Wednesday, June 1, 2016

[ 2016 | Review #01 ] : "THE REVENANT"

Judul Asli : THE REVENANT – A NOVEL OF REVENGE
Copyright © 2002 by Michael Punke
Map © 2002 by Jeffrey L. Ward
THE REVENANT Film Artwork © 2015 Twentieth Century Fox
Penerbit Noura Books
Alih Bahasa : Reni Indardini & Putro Nugroho
Editor : Yuke
Layout : CDDC
Cetakan I : Maret 2016 ; 386 hlm ; ISBN 978-602-385-087-7
Harga Normal : Rp. 69.000,-
Rate : 3 of 5

Jika saja bukan karena kehebohan penggemar Leonardo DiCaprio saat (akhirnya) ia mendapatkan penghargaan Academy Award melalui karakternya sebagai Hugh Glass dalam adaptasi ‘Revenant’ – fiksi yang ditulis oleh Michael Punke dengan judul sama, maka tidak akan pernah buku ini masuk dalam daftar bacaanku hahaha. Iyalah, jujur didorong rasa penasaran, plus keinginan untuk menonton film adaptasinya (kebiasaanku adalah membaca terlebih dahulu buku-buku yang diadaptasi sebagai film, sebelum menontonnya), apalagi berdasarkan sinopsis, kisah ini menjanjikan kisah petualangan nan menegangkan (my kind of stories I really like).


Sesuai garis besar kisah yang sudah ‘bocor’ terlebih dahulu (yeaaahh, terkadang ada untung-rugi memantau berita-berita melalui social media, terkadang informasi berharga bisa diperoleh, atau justru ‘accidental-spoiler’ yang bikin gemes), ini adalah kisah tentang pria bernama Hugh Glass – salah satu pemburu handal yang mengalami kecelakaan mengerikan, diserang oleh beruang grizzly hingga bisa dikatakan dirinya ‘dicabik-cabik’ hingga sekarat. Tentu saja karena lokasi yang berada di tengah hutan rimba dengan alam liar, dan pada masa itu belum tersedia ‘keajaiban’ tehnologi berupa ponsel hingga helikopter rumah sakit yang siap sedia, maka alternatif yang dimiliki oleh Hugh Glass sangat terbatas.

Untung saja Hugh Glass bersama rombongan pemburu lain, yang memungkinkan mereka melakukan pertolongan darurat seadanya. Celakanya, mengingat medan berat yang harus mereka tempuh, musuh berupa hewan liar dan suku Indian yang setiap saat siap ‘membantai ‘ mereka, dan situasi yang memaksa mereka harus mengejar waktu memenuhi target perburuan, tidak mungkin rombongan tersebut membawa serta Hugh Glass yang terluka parah sampai ke tujuan akhir. Maka sebuah kesepakatan diambil, dua orang anggota rombongan tetap tinggal, menjaga dan merawat Hugh Glass hingga kondisinya memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan. Mereka berpisah, karena anggota rombongan lain harus segera memenuhi target tujuan awal.
“Pria yang terluka merasakan suatu sensasi aneh dalam dirinya, seakan-akan dia terpisah dari seluruh kisah ini. Kisah dimana dirinya seharusnya menjadi tokoh utama di dalamnya. Sesaat, dia bertanya-tanya, apa yang akan dia lakukan jika berada di posisi mereka. Jika mereka tetap bertahan dan pasukan penyerang tiba di anak sungai, mereka semuan akan tewas. Sudikah aku mati demi mereka ... jika mereka sudah pasti akan mati juga?”
Awal petualangan perjalanan panjang Hugh Glass dimulai saat ia sengaja ‘ditinggalkan untuk mati oleh kedua orang yang seharusnya menjaga dirinya. Bukan sekedar ditinggalkan, mereka juga merampas perbekalan, perlengkapan serta senjata Glass yang dipastikan sangat dibutuhkan untuk bertahan hidup di alam liar. Sebagai alasan kuat, mereka meyakini bahwa luka-luka yang diderita Glass terlampau parah bisa dikatakan sedang merenggang nyawa yang akan lenyap dalam kurun waktu singkat. Bukan saja tidak etis, perilaku yang tidak ‘berperi-kemanusiaan’ itu lumrah terjadi pada masa-masa kehidupan berat para pemburu yang menjelajah alam liar. Sayangnya, justru karena ditinggal untuk ‘mati’ – yang terjadi justru sebaliknya.

Hugh Glass ‘bangkit’ dan menempuh perjalanan jauh dengan medan berat, sesuatu yang sangat mustahil jika menilik kondisi fisiknya yang diumpamakan bagai mayat berjalan. Namun amarah serta dendam membara merupakan sumber kekuatan yang membuat Glass bertahan dan berjuang, melakukan hal-hal yang mustahil untuk menemukan dua orang yang telah ‘membunuhnya’. Dengan kondisi tubuh tercabik mulai kulit kepala hingga leher, menyisakan otot-otot yang terluka hingga tulang kerongkongan, Hugh Glass menempuh perjalanan dengan ‘merangkak’ sejauh kekuatan yang tersisa dalam dirinya.
“Pria yang terluka menatap jarak di antara pepohonan, tempat mereka semua menghilang. Amarah menyala, menyelimutinya seperti api yang menghanguskan  pucuk pohon pinus. Tidak ada yang lebih ingin dia lakukan selain menempelkan jari-jarinya di leher mereka dan mencekik mereka hingga mati.”
Bagaimana ia sanggup menempuh jarak jauh bahkan bagi tubuh yang normal dan sehat, berhadapan dengan alam liar dengan aneka ragam bahaya mengintai, dari hewan-hewan pemangsa hingga suku Indian yang tak segan-segan menyiksa atau menguliti ‘manusia kulit putih’ di kawasan tersebut, merupakan jalinan kisah yang menegangkan sekaligus mengundang rasa penasaran untuk mengetahui akhir kisah ini. Namun daya tarik sesungguhnya muncul saat diriku mengetahui bahwa Hugh Glass bukan sekedar tokoh fiktif belaka melainkan sosok real yang memang telah mengalami rangkaian perjalanan panjang yang berbahaya, dan berulang kali berada dalam situasi menakutkan, termasuk ‘dicabik-cabik’ oleh beruang grizzly.

Dugaan awal bahwa ini merupakan sajian kisah misteri berbalut petualangan nan menegangkan, sedikit banyak berubah tatkala kusadari kisah ini lebih condong ke ‘semi-hisfic’ mengingat latar belakang, karakter serta konflik yang dituturkan berdasarkan fakta sejarah perjalanan kehidupan Hugh Glass – pemburu handal yang merupakan bagian dari rombongan Rocky Mountain Fur Company, yang sedang menelusuri jalur Sungai Grand pada pertengahan Agustus 1823, saat tragedi menimpa Glass terjadi, disusul dengan perang berkepanjangan antara suku-suku Indian maupun rombongan pendatang kulit putih.

Di sisi lain, penulis hanya menyoroti ‘tragedi’ yang menimpa Glass, terutama bagaimana ia berusaha sekuat tenaga untuk ‘membalas dendam’ pada dua orang yang sengaja ‘meninggalkan’ dirinya untuk mati di hutan belantara. Hal ini patut disayangkan karena lika-liku perjalanan rombongan pemburu hewan-hewan liar yang hendak diambil ‘bulu-bulunya’ sebagai komoditas perdagangan (dan menunjang perekonomian era tahun 1800-an) sekaligus konflik berdarah antara penduduk asli Amerika, yaitu suku Indian dengan para pendatang (mayoritas kulit putih), mengundang daya tarik tersendiri, daripada hanya digunakan sebagai latar belakang.

Sebagai karya perdana Punke yang pertama kali kubaca, jujur diriku ‘kurang puas’ dengan keseluruhan kisah ini. Walau belum menyaksikan versi adaptasi filmnya, imajinasiku telah melayang saat mengetahui garis besar kisah ini. Anehnya, gambaran yang semula muncul di benakku, perlahan-lahan mula ‘terkikis’ dan akhirnya lenyap seiring proses menelaah kisah ini. Kurang lebih menjelang pertengahan kisah hingga akhir, terasa adanya perubahan alur kisah, dimana sosok Hugh Glass seakan-akan ‘diburu-buru’ untuk segera menuntaskan perjalanannya. Alhasil, muncul suatu kesan bahwa penulis sekedar merangkum sejarah dan fakta perjalanan Hugh Glass, dan menambahkan (beberapa) perubahan kecil yang akhirnya lebih cenderung sebagai ‘tempelan’ belaka alih-alih memperkuat kisah ini ... karena itu di awal, kusebutkan karya ini menyerupai ‘semi-hisfic’ – sekelumit fakta berbalut melodrama, yang tidak tuntas apalagi memuaskan \(-__-)/

~ Hugh Glass ~
Note : sebagai pembanding, karya David Grann yang berjudul ‘The Lost City of Z’ yang melakukan napak-tilas perjalanan Percy Harrison Fawcett – arkeolog ternama yang lenyap tanpa pernah diketahui nasibnya saat melakukan penjelajahan di kawasan Amazon, jauh lebih menarik dibandingkan kisah adegan brutal yang digambarkan oleh Punke. Selain sarat akan fakta-fakta yang dikumpulkan selama bertahun-tahun, Grann menyoroti kehidupan PHF dari semua sisi, yang memberikan gambaran nyata (dan terasa sangat hidup) dalam imajiansi pembaca. Mungkin jika Punke lebih jauh melakukan eksplorasi dari sisi kehidupan dunia ‘barat’ yang liar dan ganas berdampingan dengan desakan modernisasi, mendesak baik pendatang kulit putih maupun suku Indian untuk melakukan perubahan besar-besaran dalam kehidupan mereka, kisah ini akan jauh lebih berbobot dari sekedar ‘bacaan ringan’ (yang lumayan brutal pada beberapa adegan)

[ more about the author & related works, just check at here : on Goodreads | on Wikipedia | Hugh Glass ]
Best Regards,

@HobbyBuku

No comments :

Post a Comment