Judul Asli : THE REVENANT – A NOVEL OF REVENGE
Copyright © 2002
by Michael Punke
Map © 2002 by
Jeffrey L. Ward
THE REVENANT Film
Artwork © 2015 Twentieth Century Fox
Penerbit Noura
Books
Alih Bahasa :
Reni Indardini & Putro Nugroho
Editor : Yuke
Layout : CDDC
Cetakan I : Maret
2016 ; 386 hlm ; ISBN 978-602-385-087-7
Harga Normal :
Rp. 69.000,-
Rate : 3 of 5
Jika saja bukan
karena kehebohan penggemar Leonardo DiCaprio saat (akhirnya) ia mendapatkan
penghargaan Academy Award melalui karakternya sebagai Hugh Glass dalam adaptasi
‘Revenant’ – fiksi yang ditulis oleh Michael Punke dengan judul sama, maka
tidak akan pernah buku ini masuk dalam daftar bacaanku hahaha. Iyalah, jujur
didorong rasa penasaran, plus keinginan untuk menonton film adaptasinya
(kebiasaanku adalah membaca terlebih dahulu buku-buku yang diadaptasi sebagai
film, sebelum menontonnya), apalagi berdasarkan sinopsis, kisah ini menjanjikan
kisah petualangan nan menegangkan (my kind of stories I really like).
Sesuai garis
besar kisah yang sudah ‘bocor’ terlebih dahulu (yeaaahh, terkadang ada
untung-rugi memantau berita-berita melalui social media, terkadang informasi
berharga bisa diperoleh, atau justru ‘accidental-spoiler’
yang bikin gemes), ini adalah kisah tentang pria bernama Hugh Glass – salah
satu pemburu handal yang mengalami kecelakaan mengerikan, diserang oleh beruang
grizzly hingga bisa dikatakan dirinya ‘dicabik-cabik’ hingga sekarat. Tentu
saja karena lokasi yang berada di tengah hutan rimba dengan alam liar, dan pada
masa itu belum tersedia ‘keajaiban’ tehnologi berupa ponsel hingga helikopter
rumah sakit yang siap sedia, maka alternatif yang dimiliki oleh Hugh Glass
sangat terbatas.
Untung saja Hugh
Glass bersama rombongan pemburu lain, yang memungkinkan mereka melakukan
pertolongan darurat seadanya. Celakanya, mengingat medan berat yang harus
mereka tempuh, musuh berupa hewan liar dan suku Indian yang setiap saat siap
‘membantai ‘ mereka, dan situasi yang memaksa mereka harus mengejar waktu
memenuhi target perburuan, tidak mungkin rombongan tersebut membawa serta Hugh
Glass yang terluka parah sampai ke tujuan akhir. Maka sebuah kesepakatan
diambil, dua orang anggota rombongan tetap tinggal, menjaga dan merawat Hugh
Glass hingga kondisinya memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan. Mereka
berpisah, karena anggota rombongan lain harus segera memenuhi target tujuan
awal.
“Pria yang terluka merasakan suatu sensasi aneh dalam dirinya, seakan-akan dia terpisah dari seluruh kisah ini. Kisah dimana dirinya seharusnya menjadi tokoh utama di dalamnya. Sesaat, dia bertanya-tanya, apa yang akan dia lakukan jika berada di posisi mereka. Jika mereka tetap bertahan dan pasukan penyerang tiba di anak sungai, mereka semuan akan tewas. Sudikah aku mati demi mereka ... jika mereka sudah pasti akan mati juga?”
Awal petualangan
perjalanan panjang Hugh Glass dimulai saat ia sengaja ‘ditinggalkan untuk mati
oleh kedua orang yang seharusnya menjaga dirinya. Bukan sekedar ditinggalkan,
mereka juga merampas perbekalan, perlengkapan serta senjata Glass yang
dipastikan sangat dibutuhkan untuk bertahan hidup di alam liar. Sebagai alasan
kuat, mereka meyakini bahwa luka-luka yang diderita Glass terlampau parah bisa
dikatakan sedang merenggang nyawa yang akan lenyap dalam kurun waktu singkat.
Bukan saja tidak etis, perilaku yang tidak ‘berperi-kemanusiaan’ itu lumrah
terjadi pada masa-masa kehidupan berat para pemburu yang menjelajah alam liar.
Sayangnya, justru karena ditinggal untuk ‘mati’ – yang terjadi justru
sebaliknya.
Hugh Glass
‘bangkit’ dan menempuh perjalanan jauh dengan medan berat, sesuatu yang sangat
mustahil jika menilik kondisi fisiknya yang diumpamakan bagai mayat berjalan.
Namun amarah serta dendam membara merupakan sumber kekuatan yang membuat Glass
bertahan dan berjuang, melakukan hal-hal yang mustahil untuk menemukan dua
orang yang telah ‘membunuhnya’. Dengan kondisi tubuh tercabik mulai kulit
kepala hingga leher, menyisakan otot-otot yang terluka hingga tulang
kerongkongan, Hugh Glass menempuh perjalanan dengan ‘merangkak’ sejauh kekuatan
yang tersisa dalam dirinya.
“Pria yang terluka menatap jarak di antara pepohonan, tempat mereka semua menghilang. Amarah menyala, menyelimutinya seperti api yang menghanguskan pucuk pohon pinus. Tidak ada yang lebih ingin dia lakukan selain menempelkan jari-jarinya di leher mereka dan mencekik mereka hingga mati.”
Bagaimana ia sanggup
menempuh jarak jauh bahkan bagi tubuh yang normal dan sehat, berhadapan dengan
alam liar dengan aneka ragam bahaya mengintai, dari hewan-hewan pemangsa hingga
suku Indian yang tak segan-segan menyiksa atau menguliti ‘manusia kulit putih’
di kawasan tersebut, merupakan jalinan kisah yang menegangkan sekaligus
mengundang rasa penasaran untuk mengetahui akhir kisah ini. Namun daya tarik
sesungguhnya muncul saat diriku mengetahui bahwa Hugh Glass bukan sekedar tokoh
fiktif belaka melainkan sosok real yang memang telah mengalami rangkaian
perjalanan panjang yang berbahaya, dan berulang kali berada dalam situasi menakutkan,
termasuk ‘dicabik-cabik’ oleh beruang grizzly.
Dugaan awal bahwa
ini merupakan sajian kisah misteri berbalut petualangan nan menegangkan,
sedikit banyak berubah tatkala kusadari kisah ini lebih condong ke ‘semi-hisfic’
mengingat latar belakang, karakter serta konflik yang dituturkan berdasarkan fakta
sejarah perjalanan kehidupan Hugh Glass – pemburu handal yang merupakan bagian
dari rombongan Rocky Mountain Fur Company, yang sedang menelusuri jalur Sungai
Grand pada pertengahan Agustus 1823, saat tragedi menimpa Glass terjadi,
disusul dengan perang berkepanjangan antara suku-suku Indian maupun rombongan
pendatang kulit putih.
Sebagai karya
perdana Punke yang pertama kali kubaca, jujur diriku ‘kurang puas’ dengan keseluruhan
kisah ini. Walau belum menyaksikan versi adaptasi filmnya, imajinasiku telah melayang
saat mengetahui garis besar kisah ini. Anehnya, gambaran yang semula muncul di
benakku, perlahan-lahan mula ‘terkikis’ dan akhirnya lenyap seiring proses
menelaah kisah ini. Kurang lebih menjelang pertengahan kisah hingga akhir,
terasa adanya perubahan alur kisah, dimana sosok Hugh Glass seakan-akan ‘diburu-buru’
untuk segera menuntaskan perjalanannya. Alhasil, muncul suatu kesan bahwa
penulis sekedar merangkum sejarah dan fakta perjalanan Hugh Glass, dan
menambahkan (beberapa) perubahan kecil yang akhirnya lebih cenderung sebagai ‘tempelan’
belaka alih-alih memperkuat kisah ini ... karena itu di awal, kusebutkan karya
ini menyerupai ‘semi-hisfic’ – sekelumit fakta berbalut melodrama, yang tidak
tuntas apalagi memuaskan \(-__-)/
~ Hugh Glass ~ |
Note : sebagai
pembanding, karya David Grann yang berjudul ‘The
Lost City of Z’ yang melakukan napak-tilas perjalanan Percy Harrison Fawcett – arkeolog ternama
yang lenyap tanpa pernah diketahui nasibnya saat melakukan penjelajahan di
kawasan Amazon, jauh lebih menarik dibandingkan kisah adegan brutal yang
digambarkan oleh Punke. Selain sarat akan fakta-fakta yang dikumpulkan selama
bertahun-tahun, Grann menyoroti kehidupan PHF dari semua sisi, yang memberikan
gambaran nyata (dan terasa sangat hidup) dalam imajiansi pembaca. Mungkin jika
Punke lebih jauh melakukan eksplorasi dari sisi kehidupan dunia ‘barat’ yang
liar dan ganas berdampingan dengan desakan modernisasi, mendesak baik pendatang
kulit putih maupun suku Indian untuk melakukan perubahan besar-besaran dalam
kehidupan mereka, kisah ini akan jauh lebih berbobot dari sekedar ‘bacaan
ringan’ (yang lumayan brutal pada beberapa adegan)
[ more about the author &
related works, just check at here : on Goodreads
| on Wikipedia | Hugh Glass ]
Best Regards,
@HobbyBuku
No comments :
Post a Comment