Books
“PONTIUS PILATUS”
Judul Asli : PONTIUS PILATE
Copyright © 1968 by
Paul L. Maier
Penerbit Dioma
Publishing
Alih Bahasa : FX.
Bambang Kussriyanto
Editor : L. Heru
Susanto Pr.
Layout
: Lusia Susanti
Desain sampul :
Ginanjar Pratama
Cetakan I : September
2009 ; 320 hlm ; ISBN 978-979-26-1437-4 (Part I)
Cetakan I : Oktober
2009 ; 300 hlm ; ISBN 978-979-26-1440-4 (Part II)
Harga Normal : Rp. 00.000,-
| pinjam Fanda
Rate : 4 of 5
Banyak orang
mengingat Pilatus sebagai sosok yang menghukum mati Yesus Kristus – Putra Bapa
yang diutus untuk menebus dosa-dosa umat manusia. Namanya juga paling sering
disebut bukan sekedar dalam sejarah Roma melainkan dalam Kredo Aku Percaya yang
acapkali dikumandangkan oleh para umat Kristiani (Katholik Roma). Namun
siapakah sebenarnya sosok Pontius Pilatus, dari mana ia berasal dan bagaimana
sebenarnya peran dirinya sepanjang sejarah yang tertulis menyangkut titik awal
penyebaran ajaran baru oleh Kristus. Layaknya sebuah fiksi historis, seorang
penulis bebas melakukan interpretasi terhadap fakta-fakta sejarah yang hendak
ditampilkan. Menyangkut kebenaran dan fakta sepanjang kisah ini, penulis
sengaja tidak banyak merubah dari latar belakang, nama karakter dan peran serta
mereka sesuai yang tercatat dalam sejarah. Walau demikian, tulisan ini tetap
mampu memikat diriku layaknya membaca sebuah karya fiksi, dengan mengangkat
narasi serta dialog-dialog yang hidup, alih-alih sekedar catatan sejarah atau
dokumentasi yang membosankan.
Kisah diawali pada
jaman pemerintahan Tiberius Caesar Augustus, yang telah menjabat sebagai princeps (= warga nomor satu : Kaisar
Roma) selama 12 tahun, dengan prestasi yang cukup bagus tanpa kelebihan khusus
yang menonjol sebagaimana leluhurnya yang gemar melakukan invasi dan perombakan
besar-besaran. Dalam kehidupan pribadi, ia tak terlalu berhasil bahkan tidak
dikarunia keturunan langsung, semenjak putra tunggalnya meninggal karena
‘penyakit’ aneh. Tiberius telah belajar untuk tidak mempercayai siapa pun,
dengan perkecualian hubungan dekatnya dengan L. Aelius Sejanus yang menjabat
sebagai prefek (komandan Pasukan Pretorian, pasukan elite pelindung kaisar).
Sejanus meniti karir dari bawah dan dengan cepat mengalami kenaikan karir akibat
prestasi yang menakjubkan. Kepercayaan Tiberius terhadap Sejanus mengundang
permusuhan dari pihak Agrippina – janda kemenakan Tiberius yang menginginkan
keturunannya sebagai satu-satunya kerabat terdekat kaisar, sebagai penerus
alih-alih diberikan kepada orang asing (Sejanus bukan orang Romawi asli).
Lalu dimana gerangan
peran serta Pilatus dalam kisah ini ? Pontius Pilatus merupakan salah satu
‘pion’ yang digunakan oleh Sejanus dalam memperkuat pertahanannya dalam dunia
percaturan perebutan kekuasaan di Roma. Ambisi dan impian Sejanus untuk
memperbesar kekuatan serta kejayaan Roma, dimulai dengan menata-ulang bangsa
Yahudi yang sulit untuk dikendalikan. Populasi bangsa Yahudi sebagai bagian
dari kekuasaan Romawi yang terbesar adalah di Yudea, dan di sinilah Pontius
Pilatus dipromosikan untuk menjabat sebagai gubernur Yudea, memboyong pengantin
barunya, Procula – dengan misi khusus untuk ‘me-Romanisasi’ Yudea : wilayah
yang paling sering mengalami pergolakan karena bangsa-bangsa yang tinggal di
kawasan tersebut memiliki aturan tersendiri sebagai dasar keyakinan baik secara
politik maupun agama. Dalam waktu yang cukup singkat, Pontius Pilatus menyadari
beratnya tantangan yang harus ia hadapi, karena misi yang ia emban memiliki
banyak pertentangan dari penguasa-penguasa lokal, ditambah dengan
ketidak-pedulian pejabat Roma untuk mengetahui situasi sebenarnya.
Dalam kisah ini,
pembaca juga akan diperkenalkan pada pejabat penting di Yudea yang memiliki
andil dalam mengubah catatan sejarah, di antaranya adalah keturunan Herodes (Herodes
Antipas, Herodes Filipus, Herodes dan Filipus) yang sibuk dengan aneka
pertikaian antar keluarga mereka sendiri hingga perbuatan-perbuatan yang
dikecam karena melanggar aturan agama (seperti merebut istri / suami dari
saudaranya, menikahi anak tiri hingga kemenakan sendiri), namun masih sempat
membuat Pilatus kelabakan dengan kebijakan-kebijakan yang sengaja mempersulit
posisinya sebagai gubernur Yudea. Di sisi lain ada kelompok Sanhedrin – Majelis
Tinggi Agama, yang lebih berperan penting sebagai dewan senat bangsa Yahudi di
Yudea, dengan pemimpinnya, Imam Agung Yusuf Kayafas turut menambah maraknya
pertikaian yang menjadi awal dari pergolakan dalam kancah politik antara Yudea
dan Roma. Jika catatan sejarah lebih menyoroti akan kelahiran sang penyelamat
yang kelak disebut sebagai Raja Yahudi, hingga kematiannya yang cukup
mengerikan melalui serangkaian siksaan dan derita hingga ajal menjemput, kisah
ini juga menyajikan sudut pandang yang berbeda dari pihak Roma melalui narasi
Pontius Pilatus.
Kejayaan kerajaan
Romawi yang tak pernah lepas dari tragedi berdarah menyangkut perebutan kekuasaan
tiada henti, dibuka oleh sosok Tiberius yang menutupi pintu hatinya akibat
pengkhianatan demi pengkhianatan untuk menyingkirkan orang-orang yang ia kasihi
maupun pendukungnya, merubah sosok pria brilian menjadi orang yang senantiasa
mencurigai siapa pun di sekelilingnya. Pilatus menjalani masa-masa penuh
ketakutan akan nyawanya serta keselamatan keluarganya akibat penguasa yang bisa
dikatakan ‘sakit jiwa’ semenjak pemerintahan Tiberius, disusul penggantinya
Gaius Caligula yang jauh lebih keji hingga masa-masa pemberontakan untuk
menggulingkan pemerintahan kerajaan Romawi dan mengembalikan status kekuasaan
ke tangan Senat. Hidup Pilatus sebagai pejabat negara yang cukup terpandang,
justru membuat dirinya bagaikan hidup di ujung tanduk yang setiap saat harus
bersiap-siap jika diperintahkan ‘terjun’ ke jurang atau tenggelam di dasar laut
– kurang lebih demikian gambaran tentang seberapa kuat kuasa dan pengaruh
Kaisar Roma. Pilatus – sebagai pejabat resmi Yudea, justru merasakan bagai ‘bola
ping-pong’ yang tidak tahu ke arah mana ia harus melangkah, terjepit antara
perintah Roma, keinginan Herodes dan sekutunya, serta ketidak-patuhan kaum
Sanhedrin.
Sekedar mengenal
sosok Pilatus yang lebih dikenal orang yang tidak berani mengambil keputusan
dan memilih ‘cuci-tangan’ dalam mengambil keputusan atas pengadilan Yesus
Kristus, melalui kisah ini, diriku lebih memahami pergulatan batin dan pikiran
Pilatus dari sudut pandang pribadi yang di-hidupkan oleh sang penulis. Walau
terasa bagaikan membaca sebuah sajian fiksi, penulis justru menekankan bahwa
karya ini merupakan ‘semi-otobiografi’ Pontius Pilatus yang diperoleh dari
hasil riset sejarah-sejarah yang tercatat dan pendalaman tafsir Alkitab, tanpa
banyak merubah fakta dan detil, dengan perkecualian masuknya persepsi sang
penulis atas karakter ini. Secara pribadi, diriku termasuk yang mempersalahkan
Pilatus sebagai sosok yang berperan atas kematian Yesus, namun penafsiran dari
sudut pandang yang berbeda, mengungkapkan bahwa hal itu terjadi (termasuk
penyiksaan yang dialami Kristus) karena kehendak Allah – bahwa Putra-Nya harus
menjalani penghinaan, penderitaan dan kesakitan demi menebus dosa manusia. Jujur,
diriku tidak seratus persen meyakini hal tersebut, karena bagaimana pun,
Alkitab juga merupakan hasil penafsiran dan persepsi ahli-ahli Taurat, Sejarah
dan Gereja, yang bisa mengalami perbedaan satu sama lain.
Pertanyaan demi
pertanyaan yang muncul berdasarkan nalar dan logika, yang juga acapkali
menyebabkan pertikaian antara ilmuwan (atau sejarahawan) dengan rohaniwan yang
lebih memegang ‘keyakinan’ di atas logika, ditampilkan pula melalui karakter
Pilatus yang hingga akhir masih mempertanyakan kebenaran akan Kristus, apakah
benar ia sengaja tewas disalib untuk menebus dosa manusia, dan bagaimana
mayatnya hilang tanpa jejak, hanya dikabarkan bahwa Ia telah ‘bangkit’ ... Selain
sajian catatan fakta dan sejarah, yang mempertanyakan keabsahan keyakinan baru
umat Kristiani yang bangkit melanda masyarakat Roma pada masa itu, penulis
bukan sekedar memberikan kisah melodrama atau kontroversial dalam kebenaran
dibalik kebenaran – penulis juga memgingatkan bahwa tujuan utama kedatangan
Kristus adalah untuk menyatukan perbedaan yang menimbulkan perpecahan antara
manusia satu dengan manusia lainnya. Apa pun ras, warna kulit, bahasa, budaya,
bahkan (nama) keyakinan masing-masing, semuanya bersumber pada satu hal yang
sama, dan perdamaian serta cinta kasih terhadap sesama (terhadap pihak-pihak
yang dianggap sebagai musuh) merupakan pelajaran utama yang harus menjadi
pegangan hidup umat manusia. Sungguh sesuatu yang luar biasa (dan ambisius
dalam tolak ukur manusia), jika ini adalah misi yang di-emban oleh para rasul
pada periode masa yang penuh gejolak dan pertikaian silih berganti.
“Kedatangannya membuktikan bahwa kekristenan lebih dari sekedar cabang istimewa agama Yahudi : sekarang orang asing pun, orang kafir yang tidak mengenal Allah, diterima di dalam iman sama seperti orang Yahudi. Karena sesungguhnya, Allah tidak membeda-bedakan orang, setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran akan diterima oleh-Nya dan berkenan kepada-Nya.” [ p. 266 | Pontius Pilatus - Part II ]
Best Regards,
@HobbyBuku
No comments :
Post a Comment