Books “HENING”
Judul Asli : SILENCE
Copyright © 1996 by Shusaku Endo
Translated from Japanese Edition by
William Johnston
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa : Tanti Lesmana
Cetakan ke-01 : Desember 2008 ; 304
hlm
Cover by Satya Utama Jadi
Sinopsis :
Dengan latar belakang Jepang pada
abad ke-17, periode yang dikenal sebagai zaman Edo atau saat kekuasaan pemerintahan
Jepang dibawah klan Tokugawa, kisah ini dibuka dengan kehebohan di Roma atas
berita bahwa salah satu perwakilan Serikat Yesus dari Portugal yang ditugaskan
di Jepang telah menjadi ‘murtad’ (
=mengingkari agamanya ) setelah menjalani hukuman penyiksaan di Nagasaki. Nama
perwakilan Yesuit Portugal tersebut adalah Christovao Ferreira - seorang
misionaris berpengalaman yang teramat dihormati & telah tinggal selama 33
tahun di Jepang sebagai provincial (
=jabatan tertinggi ) di mana sepak terjang serta karya-karya menjadi inspirasi
banyak imam-imam lain serta para pengikut setia.
Jepang yang saat itu dalam kekuasaan
pemerintahan Lord Ieyasu ( pengganti Lord Hideyoshi) memerintah dengan tangan
besi sehingga rakyat kecil menderita akibat pajak-pajak tinggi yang berlaku.
Satu-satunya yang diwarisi dari pemerintahan sebelumnya adalah penghentian
penyebaran agama Kristen yang sempat tumbuh subur di kalangan masyarakat Jepang
lewat pengaruh penyebaran oleh imam-imam Kristen Portugal. Bahkan Lord Ieyasu
bertindak lebih ekstrim dengan memburu para pengikut / penganut agama tersebut
untuk dihukum mati / disiksa untuk menjadi ‘murtad’ – baik orang Jepang sendiri
maupun para imam itu sendiri.
Pengaruh Kristiani awalnya datang
lewat jalur perdagangan yang dibawa kaum Portugal & Spanyol, berkembang
pesat pada sekitar tahun 1570-1614, lebih karena disebabkan kebutuhan akan
jalur perdagangan sutra dengan kapal-kapal hitam Macao. Dan Lord Ieyasu sebagai
Tokugawa pertama pada tahun 1614 mengeluarkan perintah resmi hukuman mati bagi
para pengikut Kristiani di Jepang. Lord Ieyasu telah membuka & menjalin
hubungan dengan pihak Barat lainnya, yaitu bangsa Inggris & Belanda – yang
telah sekian lama menjadi seteru bangsa Portugal serta Spanyol dalam perebutan
kekuasaan akan wilayah-wilayah perdagangan baru ( dalam hal ini wilayah Jepang
yang menjadi ajang perebutan ).
Pengaruh larangan serta penumpasan
kaum Kristiani di Jepang tidak membuat gentar para pastur yang bertekad
menyebarkan agama Kristen di lahan Jepang. Walau harus melalui rintangan serta
perjalanan yang sangat berat & lama, beberapa pastur bertekad menuju ke
Jepang. Diantara orang-orang tersebut, ada 3 orang pastur dari Yesuit Portugal
yang bertekad meneruskan penyebaran agama & juga mencari tahu kebenaran
& membersihkan nama Christovao Ferreira-guru serta mentor yang mereka
sayangi & hormati. Ketiga orang tersebut bernama Fransisco Garrpe, Juan de
Santa Marta dan Sebastian Rodrigues.
Kisah ini nantinya akan berpusat pada perjalanan Sebastian Rodrigues setibanya di Jepang. Bagaimana rekannya Juan de Santa Marta meninggal di Macao karena penyakit yang diperoleh akibat perjalanan yang sulit dan berbahaya, perpisahan dengan Fransisco Garrpe setelah selama beberapa bulan mereka bersama-sama bersembunyi di kawasan desa nelayan Tomogi, Jepang sambil melayani & memberikan bimbingan pada umat Kristiani desa tersebut. Bagaimana setelah berpisah, ia ditangkap oleh pasukan di bawah perintah Inoue - gubernur Chikugo, yang membuat cara penyiksaan mengerikan pada pengikut Kristiani yang tidak mau menyerah.
Rodrigues dapat ditangkap dengan
mudah akibat pengkhianatan Kichijiro - orang Jepang yang mengaku sebagai
pengikut Kristiani dan telah menjadi pemandu perjalanan dari Macao menuju
Jepang. Jika Rodrigues membayangkan penyiksaan sadis yang akan dialaminya
sebagaimana kisah-kisah nasib para misionaris sebelumnya, maka dirinya dapat
dikatakan lebih beruntung hanya ditahan tanpa siksaan fisik yang sangat berat,
bahkan ia memperoleh kesempatan untuk melayani para pengikut Kristiani yang
menjadi tawanan di tempat tersebut. Setelah Rodrigues cukup mengenal &
dekat dengan para pengikut itu, mulailah siasat keji (yang terlambat
diketahuinya) dimana pejabat pemerintahan Jepang melakukan indoktrinasi agar
Rodrigues melepas keyakinannya. Mulai dengan bicara secara baik dan sopan,
hingga kecaman dan ancaman jika ia tidak mau menyerah maka akan dipilih korban
untuk disiksa / dimusnahkan dari orang-orang Jepang pengikut Kristiani yang
dilayani olehnya.
Perang batin berkecamuk dalam hati
Rodrigues, terutama setelah menyaksikan begitu banyak korban jiwa tak bersalah
yang dikorbankan demi pertahanan keyakinan dirinya – sementara Tuhan yang
dikasihi dan diperjuangkan, tak lagi terdengar olehnya, seakan ‘membisu / silence’ tak peduli akan
nasib umatnya yang menderita.
Kegoncangan jiwa yang dialami
Rodrigues semakin menusuk setelah ia menyaksikan kematian Garrpe saat berusaha
menyelamatkan pengikut-pengikut Kristiani yang sengaja dikorbankan demi memberi
pelajaran bagi dirinya. Apalagi melalui kecerdikkan & siasat licik Inoue, akhirnya ia dipertemukan dengan
guru yang dihormatinya, Pastur Christovao Ferreira yang telah menjadi pendeta
Buddha bernama Sawano Chuan yang
memiliki istri & anak.
Dan pada akhirnya, Pastur Sebastian
Rodrigues dihadapkan kembali pada fumie
(=lempengan gambar suci Kristus / Bunda Maria) dan demi keselamatan jiwa-jiwa
tak berdosa umat Kristiani di Jepang, ia harus menginjak-injak fumie tersebut sebagai simbolisasi akan
penyangkalan keyakinan dirinya sebagai umat Kristiani. Keputusan apa yang akan diambil
oleh Rodrigues – suatu tindakan yang mengejutkan !!!
Kesan :
Perkiraan awal tentang isi buku ini
agak meleset dari dugaan. Dari sinopsis yang tercantum, terbayang akan kisah
penuh petualangan yang terkait dengan sejarah ( apalagi setelah selesai baca
The Last Concubine-nya Lesley Downer atau mirip dengan Musashi-nya Eiji
Yoshikawa ).
Kisah ini lebih banyak berisi
pergulatan serta curahan pemikiran Sebastian Rodrigues sebagaimana misionaris
baru yang memiliki idealisme serta semangat tinggi guna menyebarkan karya
Kristus di wilayah dengan medan yang sulit. Sebanyak apa pun persiapan fisik
maupun mental yang telah dilakukan ternyata tak dapat mengalahkan kenyataan
yang sangat berbeda – terutama bagaimana mempertahankan & meningkatkan
keimanan masyarakat Jepang akan Kristianitas, jika demi mempertahankan apa yang
ada dalam diri sendiri sulit untuk dilakukan.
Kisah-kisah tentang metode
penyiksaan terhadap orang-orang yang nantinya dianggap sebagai ‘martir’ dalam
memperjuangkan kebebasan serta keyakinan mereka telah sering dikumandangkan.
Seperti penyiraman air mendidih pada tobuh para tahanan ( para tentara Nazi
juga menggunakan metode yang mirip pada tahanan Yahudi, berupa penyiraman air
dingin pada tahanan yang ditelanjangi pada musim dingin yang ganas ), atau
metode Inoue yang sangat ditakuti :
korban digantung terbalik ke dalam lubang yang berisi kotoran manusia setelah
bagian belakang telinga dilukai hingga darah menetes menutupi wajah korban. Dan
pada kasus tokoh Sebastian Rodrigues, agak sedikit berbeda, karena bukan
dirinya sendiri yang mengalami penyiksaan namun teman serta umatnya yang
disiksa sampai dirinya mau menyatakan menyerah dan mengingkari keyakinannya.
Yang agak menarik adanya tokoh
Kichijiro yang sejak awal digambarkan sebagai orang yang licik dan pengecut
atau ibarat Yudas jika menurut pemikiran Rodrigues. Yudas, salah satu murid
pilihan Yesus yang justru mengkhianati Yesus. Dan sungguh ironis bagaimana
Rodrigues mengumpamakan penderitaan dirinya sebagaimana yang dialami oleh Yesus
menjelang kematiannya di salib – apalagi di saat-saat terakhir dengan dalih
menyelamatkan nyawa orang lain akhirnya Rodrigues mengikuti jejak Ferreira (
yang memang ditugaskan membujuk Rodrigues ), dan pada akhirnya Rodrigues
menemukan dirinya tak berbeda jauh dengan Kichijiro …
Lewat pengantar yang ditulis oleh
William Johnston sebagai penerjemah kisa ini ke dalam bahasa Inggris, gambaran
tentang kondisi Jepang pada jaman tersebut dapat memberikan bayangan lebih
akurat tentang pergulatan serta perjuangan orang-orang yang seakan tenggelam
dalam sejarah dunia. Dan lewat tokoh Rodrigues yang idealis, seakan penulis
hendak menyampaikan bahwa dalam menghadapi medan yang berbeda ( dalam kasus ini
Jepang ) maka para perintis seharusnya juga melakukan pendekatan secara raikal
bukan sekedar mengikuti pedoman masa lalu – dan hal ini juga berlaku pada jaman
sekarang dimana keimanan serta konflik semakin bertambah, maka perkembangan
pengaruh Kristiani bukan sekedar sebagai agama ataupun agenda politik ( yang menjadi
akar permasalahan dalam kisah ini dipicu oleh perebutan kekuasaan antara pihak
Kristen Inggris dan Belanda yang mengakui Raja / Ratu sebagai penguasa
tertinggi di dunia sedangkan Portugal dan Spanyol mengikuti aliran Roma yang
mengakui Paus sebagai wakil Tuhan di dunia ), namun juga sebagai pedoman dalm
menjalani kehidupan yang lebih baik bagi setiap individu.
Akhir kata, sebagai orang awam dan
juga umat Kristiani, tanpa bermaksud memberikan pandangan yang memberikan
‘judgement’ - maka novel fiksi ini dapat dinikmati layaknya perenungan penuh
problematic ala Paulo Coelho, filosofi yang digambarkan oleh Pearl S. Buck (
seperti kisah Madame Wu ) dengan gaya bahaya lugas dan terus terang ala Shusako
Endo. Dan pada akhirnya, keputusan serta pemikiran terakhir menjadi milik para
pembaca ….
Tentang Penulis :
Shusaku Endo dilahirkan pada tahun
1923. Ketika dia berumur tiga tahun, keluarganya pindah ke Manchuria. Sewaktu
masih duduk di sekolah dasar, dia mengedit dan menerbitkan surat kabar bersama
beberapa temannya. Ketika kedua orangtuanya bercerai, dia kembali ke Jepang
bersama ibunya, dan pada tahun 1934 dia dibaptis menjadi Katolik. Setelah lulus
dari fakultas sastra Prancis di Keio University, dia mendapt beasiswa selama
dua setengah tahun di Lyon – pengalaman ini kelak dituangkan ke dalam beberapa
novelnya. Salah satunya Shiroi Hito (
The White Man ), mendapat penghargaan bergengsi Akutagawa Prize, yang pertama
dari sekian banyak penghargaan yang kelak diperolehnya dalam dunia sastra.
Karya-karyanya telah banyak diterjemahkan di seluruh dunia.
Best Regards,
* HobbyBuku *
No comments :
Post a Comment