Books “BUMI MANUSIA”
Judul Asli
: TERRE DES HOMMES | WIND, SAND &
STARS
by Antoine de Saint-Exupéry
Copyright © Editions GALLIMARD, 1939
Translation editions © Forum Jakarta-Paris, 2011
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa : Ida Sundari Husen
Editor : Jean-Pascal Elbaz
Proofreader : C. Donna Widjajanto
Cetakan I : Desember 2011 ; 224 hlm
[ Conclusion in English ]
Nama Antoine de Saint-Exupéry sangat dikenal melalui karyanya “The Little
Prince” yang hingga kini tetap mampu membuat diriku takjub saat membaca ulang
kisah yang penuh imajinasi dan menyentuh. Namun jauh sebelum beliau menulis
karya tersebut, buku ‘Terre Des Hommes” merupakan karya pendahulu yang
berisikan semi-biografi berisi perjalanan hidup sang penulis beserta
renungan-renungan tentang hakikat kehidupan. Melalui kisah ini kita akan
mengenal sosok beliau yang bukan sekedar penulis tetapi juga seorang ‘aviator’
saat menjalani rute pengiriman pos udara sepanjang jalur Afrika hingga Amerika
Selatan.
Sebuah perjalanan senantiasa dimulai dengan awal dan berujung pada akhir.
Namun penulis mengajak kita bukan saja sekedar menelusuri sepanjang ‘jalan’
melainkan menikmati keseluruhan proses. Ibarat sebuah perjalanan darat, kita
melalui jalur jalan yang telah dibentuk oleh manusia, maka dengan sendirinya lingkungan
sekitar serta pemandangan yang kita lihat, telah dibuat dan diatur oleh manusia
pula. Berbeda dengan perjalanan udara yang akan dikisahkan oleh beliau, karena
jalur yang dilalui mayoritas merupakan lahan berat dan masih ‘perawan’ dalam
artian belum pernah dilalui oleh manusia. Dari bukit dan lembah yang menjulang,
hingga puncak pegunungan yang diselimuti oleh salju, tebing serta jurang dengan
kawah sempit nan terjal, hingga gurun pasir seluas samudra, dan lautan bebas
tiada batas, semuanya menjanjika petualangan serta kenikmatan tersendiri yang
berbeda. Tiada yang dapat menyaingi keindahan perjalanan udara, terutama saat
malam menjelang, menelusuri langit tanpa batas dengan pemandangan konstelasi
bintang-bintang.
“Bagiku gumpalan putih itu merupakan perbatasan antara yang nyata dan tidak nyata, antara yang dikenal dan tidak dikenal. Dan aku sudah menduga bahwa suatu tontonan tidak akan bermakna kecuali melalui suatu budaya, suatu peradaban, suatu usaha. Orang gunung tahu juga tentang lautan awan. Namun, di itu mereka tidak menemukan tirai yang luar biasa indah itu.” [ p. 14 ]
Hal ini mengingatkan pengalaman pertamaku menggunakan pesawat udara. Saat
memandang melalui jendela, pemandangan pesawat tinggal landas, meninggalkan
lukisan pemandangan dari udara, kemudian memasuki kumpulan awan dan terbang di
atasnya, wow, it’s quite amazing. Tetapi itu hanya sebagian kecil dari
pengalaman yang terbilang nyaman karena pengalaman pertama dengan pesawat
komersial yang dijalankan demi kenyamanan para penumpang. Lain halnya ketika
menaiki pesawat angkutan barang, semacam pesawat tempur dengan baling-baling
besar, tanpa ada kursi nyaman, hanya terikat pada bangku darurat dan penutup
telinga karena suara mesin serta baling-baling yang sangat keras hingga
guncangan yang lumayan keras pula. Apalagi saat terbang dalam cuaca buruk,
hujan angin kencang dengan petir serta kilat menyambar, duh, hanya bisa duduk
kaku sambil merapal doa-doa mohon perlindungan.
Dan ini pula yang menjadi agenda kegiatan sang penulis yang harus
menempuh perjalanan pulang-pergi yang cukup jauh dengan medan serta cuaca tak
menentu. Perbedaan nyata lainnya, jika pesawat yang aku tumpangi termasuk jenis
modern dalam arti semuanya tertutup dan kendali diatur oleh mesin, maka pesawat
pioner saat itu terbilang cukup primitif. Hanya ada panel kontrol untuk
melakukan pengecekan singkat, disertai baling-baling dan tongkat kontrol yang
mengendalikan arah serta laju pesawat. Tanpa penutup, sehingga pilot harus
sering ‘mengeluarkan’ kepalanya untuk melihat ke depan dan menentukan arah di
saat cuaca buruk. Yang lebih mengerikan tidak ada radar yang memberi pedoman
dimana gerangan mereka berada, ibaratnya jika tersesat dari jalur perjalanan,
resiko besar menanti mereka. Satu tantangan lain, jalur yang ditempuh oleh Pos
Udara ini khusus penerbangan malam, sebagai salah satu terobosan lain menyaingi
jalur darat dan laut. Tanpa adanya lampu listrik, maka tiada penerangan khusus
bagi para pilot, hanya berbekal bintang-bintang (jika cuaca sedang baik), tanpa
sinar lampu tanda adanya pemukiman (ingat bahwa jalur mereka melalui
medan-medan yang sulit).
“Begitulah maka kami berubah menjadi ahli ilmu alam, ahli biologi, yang meneliti peradaban yang menghiasi dasar lembah-lembah, dan yang terkadang, berkat keajaiban, berkembang menjadi taman di tempat-tempat di mana iklim memungkinkannya. Kami juga menilai manusia pada tingkatan kosmik, dengan mengawasi melalui jendela-jendela kecil pesawat kami seperti instrumen penelitian. Dengan demikian kami membaca kembqali sejarah manusia.” [ p. 64-65 ]
Tak pelak kisah ini membuatku menaruh rasa hormat serta respek
setinggi-tingginya kepada para pilot pioner pada masa itu. Karena hanya
keahlian serta kemampuan ‘membaca’ situasi serta kondisi alam yang membuat
mereka mampu menempuh jalur panjang yang berat. Tidak ada keajaiban mesin
dengan tombol-tombol mekanis dalam instrumen yang rumit untuk membantu mereka.
Bahkan dalam satu kisahnya, penulis mengungkapkan bahwa peta geografis yang ia
ingat bukanlah peta sebagaimana tertera dalam gambaran di atas kertas.
Melainkan tempat dimana ia harus menghindari segerombolan kambing hutan yang
suka berada di atas tebing (karena jika roda pesawat terbang terlalu rendah,
alhasil kecelakaan fatal akan terjadi), atau di pegunungan mana terdapat hunian
terpencil yang penghuni bersedia menjamu para pengunjungnya, dimana keberadaan
mercusuar sebagai penanda lokasi serta kontak radio yang jaraknya antara satu
dengan lainnya bisa bermil-mil jauhnya.
Kisah ini semakin mencekam saat penulis beserta rekan pendampingnya
mengalami musibah dan pesawatnya jatuh di tengah padang gurun pasir yang sangat
luas. Tanpa bekal makanan maupun air yang cukup, mereka harus bertahan dan
berusaha mencari pertolongan dengan kondisi fisik yang semakin lama semakin
melemah, mengakibatkan halusinasi serta pemandangan fatamorgana yang beberapa
kali nyaris menjerumuskan mereka. Peristiwa yang nyaris mendekatkan diri pada
kematian tersebut memberikan pandangan baru bagi penulis, akan apa yang penting
dalam kehidupan. Melalui serangkaian kisah berupa rangkaian kenangan akan
orang-orang yang ia temui, termasuk suku pedalaman seperti bangsa Moor dan para
budak belian, sebuah pesan disampaikan kepada pembaca. Dalam kehidupan yang
hanya berlangsung satu kali (karena kita tak akan pernah ingat jikalau
menjalani proses reinkarnasi hehe), berbagai pilihan jalur tersedia,
masing-masing memiliki resiko tersendiri.
“Air berharga senilai emas ; setitik air yang menumbuhkan sejumput rumput dari dalam pasir seperti sepercik hijau. Jika di suatu tempat turun hujan, terjadilah sebuah eksodus besar di Sahara. Oranng berduyun-duyun menuju rumput yang akan tumbuh tiga ratus kilometer jauhnya.....Dan air yang sangat langka itu, yang setitik pun tidak jatuh di Port-Étienne sejak sepuluh tahun lamanya, di tengah gemuruh air terjun Savoie di Prancis, seolah-olah persedian dunia ditumpahkan dari sebuah tangki yang pecah. Yang mengalir keluar dari perut gunung itu adalah kehidupan, darah manusia sendiri. Banyaknya air dalam satu detik mungkin cukup untuk menghidupkan kembali kafilah-kafilah yang kehausan, terkubur untuk selamanya dalam kolam garam dan fatamorgana yang tak terkira luasnya. Di sini, Tuhan menampilkan diri : tidak mungkin kita membelakanginya.” [ p. 102 ]
Namun alih-alih mengambil jalan aman yaitu jalur yang dipilih dan dilalui
oleh hampir semua orang, hendaknya kita juga menikmati proses melalui jalan
yang sama sekali berbeda, demi memberikan warna tersendiri bagi diri kita
sebagai makhluk bagian dari alam semesta yang luas. Karena pilihan-pilihan
tersebut yang menentukan nilai diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang diberi
kebebasan untuk meraih Impian masing-masing. Satu kisah tentang pertemuan serta
perjuangan penulis membantu seorang budak belian yang ingin bebas menjalani
kehidupannya. Pria ini merupakan satu pemberontak dari sekian banyak budak
belian yang menjalani kehidupan mereka tanpa arti khusus. Para budak belian
sebagian besar diculik dan dijual kepada pembeli yang memiliki mereka hingga
tenaga mereka tak lagi dibutuhkan. Yang menyedihkan, bagaikan katak hidup dalam
tempurung, mereka tak lagi menginginkan kebebasan, mereka tak lagi menginginkan
apa pun, hanya menjalani hari demi hari melakukan tugas-tugasnya. Tak jarang
mereka yang sudah tak ‘terpakai’ diusir keluar, dibiarkan kebingungan dan
memilih kematian dengan berbaring diatas tanah gersang, kering dan panas hingga
ajal menjemput.
Conclusion :
There is so many things happens while I read this book. Between a little
bit confusing because the author write-down his thought just like how he lead
his mind wondering around the past, and he also like ‘jumping’ from one theme or
subject to another story without warning, so I must puts them in the right
place after reading the whole chapter. If there is such thing like diary or
journal or memoar, well this type of writing a little bit mixed between them.
At first I felt ‘flat’ but the curiosities still gave me a hugh influence to
finished up the whole story. Thanks God, after several pages, on the way to the
middle of the book, the author gave bigger issues surrounding his own tragedy,
an experience near death when his plane crash in the middle of Sahara Desert.
One thing for sure I knew about Antoine de Saint-Exupéry, he is a
dreamer, which in this case he cannot staying focus on working desk, his mind
and imagination will wondering around everywhere. And he such an idealistic too
when comes to pursue his dreams that often involving more adventures. But after
the tragic accident, he put more attention on how people’s live. In here the
humanitarian aspect begin its journey with him for the rest of his life. Even
at WW II, he claimed his position to take war against Germany (Nazi). From his
experience with slavery on Africa and South America, his feeling about people’s
freedom and their choices to select which kind of living are the strong term
that he also fighting for.
I sat down [facing a sleeping] couple. Between the man and the woman a child had hollowed himself out a place and fallen asleep. He turned in his slumber, and in the dim lamplight I saw his face. What an adorable face! A golden fruit had been born of these two peasants..... This is a musician's face, I told myself. This is the child Mozart. This is a life full of beautiful promise. Little princes in legends are not different from this. Protected, sheltered, cultivated, what could not this child become? When by mutation a new rose is born in a garden, all gardeners rejoice. They isolate the rose, tend it, foster it. But there is no gardener for men. This little Mozart will be shaped like the rest by the common stamping machine.... This little Mozart is condemned.
Tentang Penulis :
[ source ] |
Antoine de Saint-Exupéry, terlahir dengan nama lengkap Antoine Marie
Jean-Baptiste Roger, comte de Saint-Exupéry
pada tanggal 29 Juni 1900 di Lyon, Prancis. Beliau adalah keturuna keluarga
aristokrat Prancis, yang memilih jalur kehidupan yang sama sekali berbeda
dengan lingkungan keluarganya. Setelah menyelesaikan pendidikan terakhir pada
Colege Saint-Jean di Fribourg, ia memilih menjadi pilot pada masa wajib
militer, dan melakukan penerbangan sepanjang Prancis hingga Afrika Utara sampai
masa dinasnya usai di tahun 1923.
Setelah menjalani kehidupan sebagai warga sipil beberapa tahun, ia
merindukan ‘penerbangan’ yang pernah dijalaninya, dan merasa tidak ada yang
diharapkan dari kondisi patah hati setelah putus hubungan dengan penulis Louise
de Vilmorin, di tahun 1926 ia kembali bergabung dengan Latécoère (yang kemudian dirubah menjadi Aéropostale) – salah satu penerbang pelopor yang membuka jalur pos
menuju koloni-koloni Africa yang terpencil serta pedalaman Amerika Selatan
serta jalur penghubung negara-negara Eropa, menggunakan pesawat terbang yang
masih terbilang primitif, menjalani rute dan medan yang berbahaya. Saat Perang
Dunia II dimulai, ia bergabung dengan Angkatan Udara Prancis (Armée de l’Air)
melakukan misi recon hingga tahun 1940. Kemudian ia berangkat ke Amerika untuk
bergabung dalam perang melawan pihak Jerman : Nazi. Ketika ia sempat ‘menghilang’
selama 27 bulan di Amerika Utara, semasa itulah 3 buah karyanya yang terkenal
berhasil ditulis.Hingga ia kembali bergabung dengan Angkatan Udara Prancis di
Afrika Utara, yang nyaris ditolak akibat faktor usianya yang lanjut serta
kondisi kesehatannya. Dalam salah satu misi terakhirnya pada bulan Juli 1944,
ia lenyap di sekitar Lautan Mediterania, dan diduga tewas di tempat.
[ source ] |
Saint-Exupéry
menjalani kesibukan sebagai penulis fiksi, memoar, dan puisi,
sekaligus ‘pioner-aviator’ , yang memperoleh berbagai penghargaan atas hasil
karya serta jasanya. Seperti National Book Award dari Amerika serta serangkaian
penghargaan dunia literasi Prancis. The Little Prince telah diterjemahkan lebih
dari 250 bahasa serta dialek di dunia, yang membuatnya menjadi sosok ‘pahlawan’
bagi masyarakat Prancis.Sedangkan karyanya ‘Terre de Hommes’ dianggap sebagai
salah karya yang memberikan pengaruh besar dalam dunia humanitarian
Internasional, hingga dijadi salah satu tema Perayaan Pekan Dunia Abad 20 pada
Expo 67 di Montreal, Kanada
[
more about this author, books and related works, just check on here : Antoine de Saint-Exupéry | on Wikipedia | on Goodreads | Terre de Hommes ]
This Post are
include for :
66th
Book for Classic Club Project
2nd Book
for Classic Spin #2
1st Book for Antoine de Saint-Exupéry Birthday’s
Best
Regards,
No comments :
Post a Comment