WELCOME

For everyone who love classical stories
from many centuries until millenium
with some great story-teller around the world
these is just some compilation of epic-stories
that I've read and loved so many times
... an everlasting stories and memories ...

Translate

Monday, September 30, 2013

Books "GOOD WIVES"

Judul Asli : GOOD WIVES
Copyright © Louisa May Alcott, 1869
Penerbit Serambi
Alih Bahasa : Rahmani Astuti
Editor : Moh. Sidik Nugraha
Proofreader & Lay-out : Eldani & Siti Qomariyah
Desain Sampul : Onymarga
Cetakan I : April 2010 ; 536 hlm ; ISBN 978-979-024-206-7

Kisah ini merupakan kelanjutan dari ‘Little Women’ yang berakhir dengan pertunangan Meg dengan John Brooke – guru pribadi Laurie / Teddy, serta kepulangan Kapten March dari medan perang, membawa kebahagiaan serta kemeriahan pada keluarga ini. Meski demikian, muncul sedikit ketegangan akibat ulah Jo yang tidak setuju akan hubungan John dengan Meg, karena ia sangat menyayangi kakak tertuanya dan menginginkan Meg menjalani kehidupan sebagaimana ia impikan selama ini, menikah dengan pria yang mapan dari keluarga kaya dan terhormat. John Brooke pria muda yang baik hati, tulus dan jujur, namun miskin dan Jo memikirkan masa depan yang suram akan terjadi pada Meg.



Hal ini mengancam retaknya hubungan persahabatan antara Jo dan Laurie, karena pemuda itu sangat mendukung hubungan antar sahabat sekaligus pembimbingnya dengan gadis cantik yang dicintainya. Ketika akhirnya Jo melihat ia tak mampu mencegah tekad John dan Meg, bahkan kedua orangtua mereka memberikan restu untuk menikah, ia berusaha menyisihkan perasaannya dan berbahagia untuk pasangan baru ini. Uniknya disaat Jo mulai reda ‘amarah’nya, justru Bibi March tetap menyimpan amarah serta rasa tidak suka akibat ulah pasangan muda yang dianggap tidak layak bagi kalangan terhormat. Jika Jo keberatan karena memikirkan kebahagiaan Meg semata, maka alasan utama Bibi March tidak lain dipusatkan pada status sosial, martabat dan kehormatan keluarga mereka.

Good Wives merupakan buku kedua kisah kehidupan keluarga March, walau pada mulanya kisah ini ditulis dalam satu kesatuan buku dengan judul Meg, Jo, Beth & Amy (yang kemudian lebih dikenal sebagai Little Women), hingga penerbit Inggris membagi menjadi dua bagian dan memberi judul kedua Good Wives tanpa persetujuan awal dari sang penulis. Ada perbedaan suasana yang cukup jelas pada pembagian kisah menjadi dua bagian ini. Jika pada bagian pertama, pembaca dibawa pada perjuangan serta pengharapan yang berakhir dengan kegembiraan serta kebahagiaan, maka dalam buku kedua tema serupa masih diberlakukan, namun sisi kanak-kanak, canda-riang, berubah menjadi lebih serius.

Ditambah dengan problematika yang lebih kompleks, terkait dengan kedewasaan masing-masing karakter, konflik serta tragedi mewarnai sepanjang kisah. Tampaknya penulis sengaja turut memasukan unsur-unsur tragis hingga gejolak kemelut dalam realita kehidupan nyata, bukan sekedar janji manis serta harapan akan masa depan yang senantiasa cerah dan gemilang. Kedewasaan yang harus ditempuh oleh Meg saat mendapati kehidupan berumah tangga tidak semulus dan semanis bayangannya, terutama setelah ia melahirkan sepasang bayi kembar di saat kondisi ekonomi rumah tangganya mengalami guncangan. Hubungan unik antara Jo dan Laurie yang beranjak dewasa, dimana kedekatan persahabatan mereka mengalami perubahan.

Disusul keputusan penting yang diambil oleh Jo yang membawa perubahan total pada masa depannya, demi memberikan kesempatan pada pribadi pemalu yang sangat ia sayangi. Kemudian ia harus berhadapan dengan kenyataan bahwa rencananya mengalami perubahan total karena kehendak Yang Kuasa. Tragedi, kesedihan, pengkhianatan , kekecewaan dan amarah, semuanya memberikan ‘porsi-tambahan’ bagi para pembaca (yang mungkin tidak terlalu menyukai perubahan suasana pada bagian ini). Meski demikian, sebagaimana penulis memasukan unsur pengalaman pribadinya melalui karakter Jo dan Beth, tragedi atau kemalangan bisa berubah menjadi hal yang membahagiakan, tergantung dari sudut pandang mana kita melihat.
“Kamu adalah camar, Jo – kuat dan liar, menyukai badai dan angin, terbang jauh ke laut dan senang sendirian. Meg adalah perkutut yang selalu ribut berceloteh, dan Amy mirip dengan burung penyanyi yang ditulisnya, ambisius dan berusaha berdiri di antara awan, tapi selalu jatuh ke sarangnya lagi. Dan aku adalah brung kecil, tidak begitu liar dan cantik, berwarna pucat dan selalu sibuk serta gembira, bercicit dengan lagu kecilnya yang menyenangkan. Aku tidak pernah ingin pergi dan hal yang sulit sekarang adalah meninggalkan kalian semua. Aku tidak takut, tapi seperti aku akan merindukan kalian semua bahkan ketika aku sudah di surga.” [ p. 293 – 294 ]
Kehilangan Beth – adik kesayangan Jo yang mengguncang para pembaca, dituangkan melalui penuturan yang menyentuh, sebagaimana Louisa kehilangan adiknya Lizzie. Kesedihan bukannya dilarang, namun keterpurukan dan menyalahkan ‘nasib-buruk’ atau mengalihkan kesalahan pada pihak lain, ini bukanlah pilihan yang tepat menurut Jo maupun penulis. Dan hal ini juga yang menggambarkan titik tolak pilihan kehidupan yang akan berlanjut pada buku ketiga tentang perjalanan Jo di tempat yang jauh dari keluarganya guna menemukan jati diri serta panggilan hati bagi masa depannya. Walau jauh dari suasana riang gembira, buku bagian kedua kisah keluarga March menempati porsi khusus yang tak kalah menariknya, sekaligus merupakan jembatan penghubung bagi pengembangan karakter Jo yang dapat diikuti dalam kisah ‘Little Men’ ... yuk, kita lanjutkan kisahnya (^_^)

Tentang Penulis :
Louisa May Alcott lahir pada tanggal 29 November 1832 dari pasangan Amos Branson Alcott – tokoh Transendentalis terkemuka, dengan istrinya Abba May. Ia merupakan putri kedua dari empat bersaudara wanita, May, Elizabeth dan Anna Alcott. Dibesarkan di Concord, Massachusetts, mereka dididik melalui pendidikan rumah (semacam ‘home-schooling’ di jaman modern) yang memberikan minat tersendiri pada dunia buku. Semenjak kanak-kanak, Louisa sudah terpikat oleh buku, mulai dari sekedar bermain ‘pura-pura’ membaca, mencorat-coret kertas seakan-akan menulis sesuatu, hingga melahap isi perpustakaan keluarganya pada masa remaja hingga dewasa. Pergaulan sang ayah yang memungkinkan perkenalan Louisa dengan para penulis ternama, mulai dari Ralph Waldo Emerson, Henri Thoreau hingga Nathaniel Hawthorne, menanamkan pengaruh yang cukup kuat untuk mendorong dirinya menekuni dunia menulis.

Salah  satu sikap ayahnya sebagai ‘anti-materialisme’ ditunjang sikap ceroboh dalam mengelola keuangan, membuat keluarga Alcott sering mengalami kesulitan keuangan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, keempat putri Alcott semenjak kecil sudah dibiasakan untuk memiliki keahlian serta kemampuan dalam menjahit , mengajar, serta tugas-tugas rumah tangga, dimana kemampuan tersebut dapat dimanfaatkan untuk memperoleh upah bayaran dari pihak-pihak yang membutuhkan. Di sela-sela kesibukan membantu keuangan keluarganya, Louisa tetap menjalani ‘kesukaannya’ dalam membaca dan menulis. Puncak perubahan pada kehidupannya, dimulai pada tahun 1858 setelah kematian adiknya Lizzie akibat penyakit, disertai pernikahan kakaknya Anna, membuat Louisa mulai fokus dan mencurahkan waktu serta perhatiannya untuk menulis dan mengirimkan pada majalah serta agen penerbitan.

Berbagai karya cerita pendek, artikel dan puisi mulai bermunculan dan namanya mulai dikenal oleh kalangan pembaca dan penulis. Sebagai seorang wanita, Louisa memiliki pandangan bebas dan liberal menyangkut hak serta kewajiban wanita. Ia memilih untuk tidak buru-buru menikah selayaknya gadis seusianya, bahkan memilih mencari pekerjaan yang bisa memberikan pengalaman baru dalam kehidupannya. Pada tahun 1862, ia mendaftarkan diri sebagai relawan perawat di sebuah rumah sakit swasta di Washington di masa Perang Saudara, mampu bertahan selama 6 minggu sebelum ia harus pulang ke rumah keluarganya karena demam thypoid yang menyerang tubuhnya. Pengalaman jauh dari keluarga ini memberikan bahan bagi penulisan buku pertamanya yang berjudul ‘Hospital Sketches’ – yang cukup sukses di kalangan pembaca.

Selain itu Louisa juga melakukan berbagai percobaan dengan menulis karya menggunakan gaya serta pendekatan yang berbeda-beda, sebagian menggunakan nama samaran. Mulai dari kisah romansa drama hingga kisah horor yang seram dan menegangkan. Penggemar mengenalnya sebagai Flora Fairfield, ada pula yang menjadi penggemar A.M. Barnard – penulis ‘Behind A Mask’ sebuah kisah horor yang mendulang kesuksesan dikalangan pecinta misteri. Hingga pada tahun 1868, dengan menggunakan nama aslinya, Louisa menyajikan kisah klasik yang menempati posisi puncak dan penggemar dunia melalui ‘Little Women’. Hal ini merupakan titik tolak dalam karirnya yang mampu memberikan pemasukan dalam jumlah besar bagi dirinya serta keluarga. 

Semenjak itu, karya-karya lainnya semakin dicari oleh para penggemarnya. Dari An Old-Fashioned Girl (1870) ; Little Men (1871) ; Eight Cousins (1875) ; Rose In Bloom (1876) ; Jo’s Boys (1866) ; dan lain-lain. Selain berkutat dengan dunia tulis-menulis, hal lain yang menjadi perhatian utama Louisa adalah memperjuangkan hak kaum wanita, yang dimulai ketika ia pergi ke Eropa pada tahun 1871, dan ketika kembali ke Boston, ia terlibat langsung dalam gerakan hak kaum wanita untuk memilih dan pembatasan dalam undang-undang minuman keras. Louisa meninggal pada tahun 1888 di Boston.

[ more about the author and related works, just check at here : Louisa May Alcott | on Gutenberg | on Goodreads | on IMDb ]


Best Regards, 

No comments :

Post a Comment