Judul Asli : GOOD WIVES
Copyright ©
Louisa May Alcott, 1869
Penerbit Serambi
Alih Bahasa : Rahmani Astuti
Editor : Moh. Sidik Nugraha
Proofreader & Lay-out : Eldani & Siti
Qomariyah
Desain Sampul : Onymarga
Cetakan I : April 2010 ; 536 hlm ; ISBN 978-979-024-206-7
Kisah ini merupakan kelanjutan dari ‘Little
Women’ yang berakhir dengan pertunangan Meg dengan John Brooke – guru
pribadi Laurie / Teddy, serta kepulangan Kapten March dari medan perang,
membawa kebahagiaan serta kemeriahan pada keluarga ini. Meski demikian, muncul
sedikit ketegangan akibat ulah Jo yang tidak setuju akan hubungan John dengan
Meg, karena ia sangat menyayangi kakak tertuanya dan menginginkan Meg menjalani
kehidupan sebagaimana ia impikan selama ini, menikah dengan pria yang mapan
dari keluarga kaya dan terhormat. John Brooke pria muda yang baik hati, tulus
dan jujur, namun miskin dan Jo memikirkan masa depan yang suram akan terjadi
pada Meg.
Hal ini mengancam retaknya hubungan
persahabatan antara Jo dan Laurie, karena pemuda itu sangat mendukung hubungan
antar sahabat sekaligus pembimbingnya dengan gadis cantik yang dicintainya.
Ketika akhirnya Jo melihat ia tak mampu mencegah tekad John dan Meg, bahkan
kedua orangtua mereka memberikan restu untuk menikah, ia berusaha menyisihkan
perasaannya dan berbahagia untuk pasangan baru ini. Uniknya disaat Jo mulai
reda ‘amarah’nya, justru Bibi March tetap menyimpan amarah serta rasa tidak
suka akibat ulah pasangan muda yang dianggap tidak layak bagi kalangan
terhormat. Jika Jo keberatan karena memikirkan kebahagiaan Meg semata, maka
alasan utama Bibi March tidak lain dipusatkan pada status sosial, martabat dan
kehormatan keluarga mereka.
Good Wives merupakan
buku kedua kisah kehidupan keluarga March, walau pada mulanya kisah ini ditulis
dalam satu kesatuan buku dengan judul Meg, Jo, Beth & Amy (yang
kemudian lebih dikenal sebagai Little Women), hingga penerbit
Inggris membagi menjadi dua bagian dan memberi judul kedua Good Wives tanpa
persetujuan awal dari sang penulis. Ada perbedaan suasana yang cukup jelas pada
pembagian kisah menjadi dua bagian ini. Jika pada bagian pertama, pembaca
dibawa pada perjuangan serta pengharapan yang berakhir dengan kegembiraan serta
kebahagiaan, maka dalam buku kedua tema serupa masih diberlakukan, namun sisi
kanak-kanak, canda-riang, berubah menjadi lebih serius.
Ditambah dengan problematika yang lebih
kompleks, terkait dengan kedewasaan masing-masing karakter, konflik serta
tragedi mewarnai sepanjang kisah. Tampaknya penulis sengaja turut memasukan
unsur-unsur tragis hingga gejolak kemelut dalam realita kehidupan nyata, bukan
sekedar janji manis serta harapan akan masa depan yang senantiasa cerah dan
gemilang. Kedewasaan yang harus ditempuh oleh Meg saat mendapati kehidupan
berumah tangga tidak semulus dan semanis bayangannya, terutama setelah ia
melahirkan sepasang bayi kembar di saat kondisi ekonomi rumah tangganya
mengalami guncangan. Hubungan unik antara Jo dan Laurie yang beranjak dewasa,
dimana kedekatan persahabatan mereka mengalami perubahan.
Disusul keputusan penting yang diambil oleh
Jo yang membawa perubahan total pada masa depannya, demi memberikan kesempatan
pada pribadi pemalu yang sangat ia sayangi. Kemudian ia harus berhadapan dengan
kenyataan bahwa rencananya mengalami perubahan total karena kehendak Yang
Kuasa. Tragedi, kesedihan, pengkhianatan , kekecewaan dan amarah, semuanya
memberikan ‘porsi-tambahan’ bagi para pembaca (yang mungkin tidak terlalu menyukai
perubahan suasana pada bagian ini). Meski demikian, sebagaimana penulis
memasukan unsur pengalaman pribadinya melalui karakter Jo dan Beth, tragedi
atau kemalangan bisa berubah menjadi hal yang membahagiakan, tergantung dari
sudut pandang mana kita melihat.
“Kamu adalah camar, Jo – kuat dan liar, menyukai badai dan angin, terbang jauh ke laut dan senang sendirian. Meg adalah perkutut yang selalu ribut berceloteh, dan Amy mirip dengan burung penyanyi yang ditulisnya, ambisius dan berusaha berdiri di antara awan, tapi selalu jatuh ke sarangnya lagi. Dan aku adalah brung kecil, tidak begitu liar dan cantik, berwarna pucat dan selalu sibuk serta gembira, bercicit dengan lagu kecilnya yang menyenangkan. Aku tidak pernah ingin pergi dan hal yang sulit sekarang adalah meninggalkan kalian semua. Aku tidak takut, tapi seperti aku akan merindukan kalian semua bahkan ketika aku sudah di surga.” [ p. 293 – 294 ]
Kehilangan Beth – adik kesayangan Jo yang
mengguncang para pembaca, dituangkan melalui penuturan yang menyentuh,
sebagaimana Louisa kehilangan adiknya Lizzie. Kesedihan bukannya dilarang,
namun keterpurukan dan menyalahkan ‘nasib-buruk’ atau mengalihkan kesalahan pada
pihak lain, ini bukanlah pilihan yang tepat menurut Jo maupun penulis. Dan hal
ini juga yang menggambarkan titik tolak pilihan kehidupan yang akan berlanjut
pada buku ketiga tentang perjalanan Jo di tempat yang jauh dari keluarganya
guna menemukan jati diri serta panggilan hati bagi masa depannya. Walau jauh
dari suasana riang gembira, buku bagian kedua kisah keluarga March menempati
porsi khusus yang tak kalah menariknya, sekaligus merupakan jembatan penghubung
bagi pengembangan karakter Jo yang dapat diikuti dalam kisah ‘Little Men’ ...
yuk, kita lanjutkan kisahnya (^_^)
Tentang Penulis :
Louisa May Alcott lahir pada tanggal 29
November 1832 dari pasangan Amos Branson Alcott – tokoh Transendentalis
terkemuka, dengan istrinya Abba May. Ia merupakan putri kedua dari empat
bersaudara wanita, May, Elizabeth dan Anna Alcott. Dibesarkan di Concord,
Massachusetts, mereka dididik melalui pendidikan rumah (semacam
‘home-schooling’ di jaman modern) yang memberikan minat tersendiri pada dunia
buku. Semenjak kanak-kanak, Louisa sudah terpikat oleh buku, mulai dari sekedar
bermain ‘pura-pura’ membaca, mencorat-coret kertas seakan-akan menulis sesuatu,
hingga melahap isi perpustakaan keluarganya pada masa remaja hingga dewasa.
Pergaulan sang ayah yang memungkinkan perkenalan Louisa dengan para penulis
ternama, mulai dari Ralph Waldo Emerson, Henri Thoreau hingga Nathaniel
Hawthorne, menanamkan pengaruh yang cukup kuat untuk mendorong dirinya menekuni
dunia menulis.
Salah
satu sikap ayahnya sebagai ‘anti-materialisme’ ditunjang sikap ceroboh
dalam mengelola keuangan, membuat keluarga Alcott sering mengalami kesulitan
keuangan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, keempat putri Alcott semenjak
kecil sudah dibiasakan untuk memiliki keahlian serta kemampuan dalam menjahit ,
mengajar, serta tugas-tugas rumah tangga, dimana kemampuan tersebut dapat
dimanfaatkan untuk memperoleh upah bayaran dari pihak-pihak yang membutuhkan.
Di sela-sela kesibukan membantu keuangan keluarganya, Louisa tetap menjalani
‘kesukaannya’ dalam membaca dan menulis. Puncak perubahan pada kehidupannya,
dimulai pada tahun 1858 setelah kematian adiknya Lizzie akibat penyakit,
disertai pernikahan kakaknya Anna, membuat Louisa mulai fokus dan mencurahkan
waktu serta perhatiannya untuk menulis dan mengirimkan pada majalah serta agen
penerbitan.
Berbagai karya cerita pendek, artikel dan
puisi mulai bermunculan dan namanya mulai dikenal oleh kalangan pembaca dan
penulis. Sebagai seorang wanita, Louisa memiliki pandangan bebas dan liberal
menyangkut hak serta kewajiban wanita. Ia memilih untuk tidak buru-buru menikah
selayaknya gadis seusianya, bahkan memilih mencari pekerjaan yang bisa
memberikan pengalaman baru dalam kehidupannya. Pada tahun 1862, ia mendaftarkan
diri sebagai relawan perawat di sebuah rumah sakit swasta di Washington di masa
Perang Saudara, mampu bertahan selama 6 minggu sebelum ia harus pulang ke rumah
keluarganya karena demam thypoid yang
menyerang tubuhnya. Pengalaman jauh dari keluarga ini memberikan bahan bagi
penulisan buku pertamanya yang berjudul ‘Hospital Sketches’ – yang cukup
sukses di kalangan pembaca.
Selain itu Louisa juga melakukan berbagai
percobaan dengan menulis karya menggunakan gaya serta pendekatan yang
berbeda-beda, sebagian menggunakan nama samaran. Mulai dari kisah romansa drama
hingga kisah horor yang seram dan menegangkan. Penggemar mengenalnya sebagai
Flora Fairfield, ada pula yang menjadi penggemar A.M. Barnard – penulis ‘Behind
A Mask’ sebuah kisah horor yang mendulang kesuksesan dikalangan pecinta
misteri. Hingga pada tahun 1868, dengan menggunakan nama aslinya, Louisa
menyajikan kisah klasik yang menempati posisi puncak dan penggemar dunia
melalui ‘Little Women’. Hal ini merupakan titik tolak dalam karirnya
yang mampu memberikan pemasukan dalam jumlah besar bagi dirinya serta
keluarga.
Semenjak itu, karya-karya lainnya semakin
dicari oleh para penggemarnya. Dari An Old-Fashioned Girl (1870) ; Little
Men (1871) ; Eight Cousins (1875) ; Rose
In Bloom (1876) ; Jo’s Boys (1866) ; dan lain-lain.
Selain berkutat dengan dunia tulis-menulis, hal lain yang menjadi perhatian
utama Louisa adalah memperjuangkan hak kaum wanita, yang dimulai ketika ia
pergi ke Eropa pada tahun 1871, dan ketika kembali ke Boston, ia terlibat
langsung dalam gerakan hak kaum wanita untuk memilih dan pembatasan dalam
undang-undang minuman keras. Louisa meninggal pada tahun 1888 di Boston.
[ more about the author and related works,
just check at here : Louisa May Alcott | on Gutenberg | on Goodreads | on IMDb ]
Best Regards,
No comments :
Post a Comment