Judul Asli : LITTLE MEN
Copyright ©
Louisa May Alcott, 1869
Penerbit Atria
Alih Bahasa : Mutia Dharma
Editor : Ida Wajdi
Lay-out : Aniza
Desain & Ilustrasi Sampul : Ella Elviana
Cetakan I : Januari 2011 ; 454hlm ; ISBN 978-979-024-463-4
Josephine March yang lebih dikenal sebagai Jo
– gadis periang, lincah dan banyak akal ini, telah melalui perjalanan kehidupan
yang penuh petualangan sekaligus hambatan serta tragedi yang merubah dirinya
menjadi sosok yang lebih dewasa, matang tanpa kehilangan sisi periang dan
kegemarannya pada petualangan. Dalam kisah sebelumnya, digambarkan
putus-sambung hubungan Jo dan Laurie / Teddy yang semula diharapkan menjadi
pasangan (pasti kalian semua awalnya memiliki pengharapan serupa, benar kan ?)
ternyata harus berpisah karena akhirnya masing-masing menemukan pasangan hidup
yang berbeda.
Little Men merupakan pengalaman rumah tangga
Mr. Bhaer dan Mrs . Bhaer yang mengelola kediaman di sebuah lahan luas bernama
Plumfield – yang menyediakan fasilitas tempat tinggal dan pendidikan bagi bocah
laki-laki terlantar dan kurang mampu. Lalu apa hubungannya dengan keluarga
Marsh atau sebagaimana disebutkan diatas, dengan karakter Jo Marsh ? Nah,
tentunya kalian harus membaca terlebih dahulu kisah sebelumnya Little Women dan
Good Wives untuk mendapatkan keterangan selengkapnya. Singkat cerita, pasangan
Bhaer tidak lain adalah Jo dan Fritz Bhaer – profesor asal Jerman yang ditemui
Jo dalam petualangan setelah kematian Beth (sekaligus melarikan diri dari
Laurie).
Kedua pasangan ini sama-sama mencintai
anak-anak, dan meski sudah memiliki dua putra yang sangat mereka sayani, Rob
dan Teddy, mereka masih memiliki kelapangan hati untuk memberikan curahan kasih
sayang serta perhatian bagi anak-anak yang membutuhkan. Berkat warisan tak
terduga dari Bibi Marsh, yang selalu mengancam tidak akan mewariskan harta
bendanya kepada satu-satunya kerabat yang dimilikinya (yang masih hidup),
justru memberikan sebidang lahan luas bagi Jo, yang dirombak menjadi Plumfield
– dan dikelola secara bersama oleh anggota keluarga Marsh, Brooke, Laurence dan
Bhaer.
Little Men merupakan penghiburan tersendiri
yang sangat-sangat menarik dan dijamin tidak bakalan bosan membacanya.
Bayangkan saja segerombolan bocah yang aktif, kreatif dan enerjik, disatukan
dalam satu tempat, ibarat sekolah asrama dengan sarana pendidikan, peraturan
serta penerapan disiplin, namun juga diberi kesempatan melakukan aneka
aktifitas luar sekaligus petualangan mengasyikkan ... belum lagi rangkaian
kenakalan, kecerobohan hingga keonaran yang muncul akibat dorongan untuk
meningkatkan daya kreatifitas masing-masing. Saking asyiknya, sampai
terbayangkan seandainya diriku bisa ikut merasakan bersekolah di sana (^_^)
Tunggu apa lagi, ayo segera simak petualangan
‘anak-anak Plumfield’ yang nakal, menggemaskan dan lucu-lucu. Mari berkenalan
dengan Demi dan Daisy Brooke – si kembar yang lincah dan banyak akal,
putra-putri Meg dan John Brooke. Kemudian saudar sepupu mereka, Rob dan si
kecil nan menggemaskan Teddy Bhaer (yang sangat memuja ibunya). Ada pula Nat
Blake – pemain biola berbakat, yang hidup sebatang kara sepeninggalan ayahnya,
yang langsung dekat dengan Tommy Bangs yang periang dan supel. Jangan lupa
George ‘Stuffy’ Cole yang gemar makan apapun setiap saat hingga tubuhnya
semakin bulat. Billy Ward yang meski berusia 13 tahun namun bertingkah bagai
anak usia 3 tahun akibat demam yang mengganggu otaknya, saat kelelahan karena
tekanan dan terlalu banyak belajar. Serta Franz – kemenakan Mr. Bhaer yang
berusia 16 tahun, selain paling tua juga merupakan asisten kepercayaan Mrs.
Bhaer dalam mengelola sekolah Plumfield. Dan masih banyak lagi bocah-bocah
menarik lainnya ...
Tentang Penulis :
Louisa May Alcott lahir pada tanggal 29
November 1832 dari pasangan Amos Branson Alcott – tokoh Transendentalis
terkemuka, dengan istrinya Abba May. Ia merupakan putri kedua dari empat
bersaudara wanita, May, Elizabeth dan Anna Alcott. Dibesarkan di Concord,
Massachusetts, mereka dididik melalui pendidikan rumah (semacam
‘home-schooling’ di jaman modern) yang memberikan minat tersendiri pada dunia
buku. Semenjak kanak-kanak, Louisa sudah terpikat oleh buku, mulai dari sekedar
bermain ‘pura-pura’ membaca, mencorat-coret kertas seakan-akan menulis sesuatu,
hingga melahap isi perpustakaan keluarganya pada masa remaja hingga dewasa.
Pergaulan sang ayah yang memungkinkan perkenalan Louisa dengan para penulis
ternama, mulai dari Ralph Waldo Emerson, Henri Thoreau hingga Nathaniel
Hawthorne, menanamkan pengaruh yang cukup kuat untuk mendorong dirinya menekuni
dunia menulis.
Salah
satu sikap ayahnya sebagai ‘anti-materialisme’ ditunjang sikap ceroboh
dalam mengelola keuangan, membuat keluarga Alcott sering mengalami kesulitan
keuangan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, keempat putri Alcott semenjak
kecil sudah dibiasakan untuk memiliki keahlian serta kemampuan dalam menjahit ,
mengajar, serta tugas-tugas rumah tangga, dimana kemampuan tersebut dapat
dimanfaatkan untuk memperoleh upah bayaran dari pihak-pihak yang membutuhkan.
Di sela-sela kesibukan membantu keuangan keluarganya, Louisa tetap menjalani
‘kesukaannya’ dalam membaca dan menulis. Puncak perubahan pada kehidupannya,
dimulai pada tahun 1858 setelah kematian adiknya Lizzie akibat penyakit,
disertai pernikahan kakaknya Anna, membuat Louisa mulai fokus dan mencurahkan
waktu serta perhatiannya untuk menulis dan mengirimkan pada majalah serta agen
penerbitan.
Berbagai karya cerita pendek, artikel dan
puisi mulai bermunculan dan namanya mulai dikenal oleh kalangan pembaca dan
penulis. Sebagai seorang wanita, Louisa memiliki pandangan bebas dan liberal
menyangkut hak serta kewajiban wanita. Ia memilih untuk tidak buru-buru menikah
selayaknya gadis seusianya, bahkan memilih mencari pekerjaan yang bisa
memberikan pengalaman baru dalam kehidupannya. Pada tahun 1862, ia mendaftarkan
diri sebagai relawan perawat di sebuah rumah sakit swasta di Washington di masa
Perang Saudara, mampu bertahan selama 6 minggu sebelum ia harus pulang ke rumah
keluarganya karena demam thypoid yang
menyerang tubuhnya. Pengalaman jauh dari keluarga ini memberikan bahan bagi
penulisan buku pertamanya yang berjudul ‘Hospital Sketches’ – yang cukup
sukses di kalangan pembaca.
Selain itu Louisa juga melakukan berbagai
percobaan dengan menulis karya menggunakan gaya serta pendekatan yang
berbeda-beda, sebagian menggunakan nama samaran. Mulai dari kisah romansa drama
hingga kisah horor yang seram dan menegangkan. Penggemar mengenalnya sebagai
Flora Fairfield, ada pula yang menjadi penggemar A.M. Barnard – penulis ‘Behind
A Mask’ sebuah kisah horor yang mendulang kesuksesan dikalangan pecinta
misteri. Hingga pada tahun 1868, dengan menggunakan nama aslinya, Louisa
menyajikan kisah klasik yang menempati posisi puncak dan penggemar dunia
melalui ‘Little Women’. Hal ini merupakan titik tolak dalam karirnya
yang mampu memberikan pemasukan dalam jumlah besar bagi dirinya serta
keluarga.
Semenjak itu, karya-karya lainnya semakin
dicari oleh para penggemarnya. Dari An Old-Fashioned Girl (1870) ; Little
Men (1871) ; Eight Cousins (1875) ; Rose
In Bloom (1876) ; Jo’s Boys (1866) ; dan lain-lain.
Selain berkutat dengan dunia tulis-menulis, hal lain yang menjadi perhatian
utama Louisa adalah memperjuangkan hak kaum wanita, yang dimulai ketika ia
pergi ke Eropa pada tahun 1871, dan ketika kembali ke Boston, ia terlibat
langsung dalam gerakan hak kaum wanita untuk memilih dan pembatasan dalam
undang-undang minuman keras. Louisa meninggal pada tahun 1888 di Boston.
[ more about the author and related works,
just check at here : Louisa May Alcott | on Gutenberg | on Goodreads | on IMDb ]
Best Regards,
No comments :
Post a Comment