WELCOME

For everyone who love classical stories
from many centuries until millenium
with some great story-teller around the world
these is just some compilation of epic-stories
that I've read and loved so many times
... an everlasting stories and memories ...

Translate

Monday, September 30, 2013

Books "LITTLE WOMEN"

Judul Asli : LITTLE WOMEN
Copyright © by Louisa May Alcott, 1868
Penerbit Serambi
Alih Bahasa : Rahmani Astuti
Editor : Moh. Sidik Nugraha
Proofreader & Lay-out : Eldani & Siti Qomariyah
Desain Sampul : Onymarga
Cetakan I : Juli 2009 ; 492hlm ; ISBN 978-979-024-165-7
Rate : 5 of 5

Ini adalah kisah keluarga March yang terdiri dari pasangan March serta keempat putrinya, Margaret ‘Meg’ (16 tahun), Josephine ‘Jo’ (15 tahun), Elizabeth ‘Beth’ (13 tahun) dan si bungsu Amy. Kisah dibuka dengan adegan menarik tentang dialog keempat gadis yang mengeluh karena menjelang Perayaan Natal, suasana gembira dan bahagia tak mampu mereka rasakan akibat kepergian ayah tercinta, yang berangkat memenuhi panggilan hati untuk membantu sesamanya, berjuang membela kebenaran dalam Perang Saudara (American Civil War). Di samping suasana peperangan yang tak memungkinkan mereka untuk ‘berfoya-foya’ – kondisi keuangan keluarga juga tak menunjang keinginan tersebut.



Namun hal ini segera berubah saat sang ibu yang dikenal dengan panggilan sayang ‘Marmee’ – mampu mengetuk hati serta pikiran mereka untuk bersyukur atas kondisi yang meraka jalani. Sang ibu dengan bijak mengingatkan akan kegembiraan saat mereka melakukan permainan dari ‘Pilgrim Progress’ (salah satu adaptasi terbaik karya dari John Bunyan). Bahwa kebahagiaan yang diraih saat mereka mencapai puncak, bukanlah dinilai dari kesuksesan belaka melainkan proses serta kesulitan yang dijalani dalam ‘pendakian’ menuju puncak bukit sembari membawa aneka beban di pundak masing-masing. Sebuah penuturan yang disampaikan dengan penuh kelembutan namun cukup tajam untuk mengingatkan manusia pada rasa bersyukur serta pengharapan.
“Kita tidak pernah terlalu tua untuk ini, sayangku, karena ini permainan yang selalu kita mainkan sepanjang waktu dengan satu atau lain cara. Beban kita ada di sini, jalan kita terbentang di depan, kerinduan akan kebaikan dan kebahagiaan menjadi petunjuk yang akan memandu kita melewati berbagai kesulitan dan kesalahan menuju perdamaian, yaitu Kota Surga yang sejati. Nah, anak-anakku para kelana kecil, coba kalian mulai lagi, bukan dalam permainan, tapi dengan sungguh-sungguh, dan lihat sejauh mana kalian sanggup melangkah sembari membawa beban kalian masing-masing hingga ayah pulang kembali bersama kita.” [ ~ Little Women | p. 29 ]
Sebuah pembuka kisah yang sangat menyentuh, mengawali perjalanan kehidupan masing-masing anggota keluarga March. Sebagaimana layaknya manusia, meski memiliki keinginan untuk selalu berbuat yang terbaik, acapkali muncul gangguan yang mendorong munculnya kelemahan hati serta pikiran. Meg sebagai gadis tertua, pernah mengecap kehidupan yang berbeda saat keluarga mereka cukup berada, maka tatkala kondisi ekonomi menuntut mereka untuk melakukan perubahan drastis, ia sering teringat akan kenyamanan serta kemewahan yang sempat dinikmati. Apalagi sebagai gadis remaja yang gemar bersenang-senang, ia harus menahan diri demi melihat suasana kehidupan keluarga kaya dimana ia bekerja sebagai pengajar anak-anak mereka.

Sedangkan Jo yang tomboi dan periang, menyukai kebebasan serta mengisi waktunya dengan membaca, melamun, bermimpi dan menulis. Namun alih-alih ia harus menghabiskan waktu menemani Bibi March – kerabat mereka yang kaya raya namun cukup pelit dan hanya tertarik pada hal-hal yang berhubungan dengan status sosial di kalangan terhormat. Amy si bungsu, menyukai seni menggambar, namun ia harus melepas keinginannya tatkala berada di dalam kelas untuk mengikuti pelajaran umum. Dan Beth yang manis dan pendiam, karena kondisi tubuhnya yang lemah, harus tetap tinggal di rumah tatkala setiap anggota keluarga menunaikan tugas masing-masing. Beth tak pernah keberatan karena ia sangat pemalu, namun berada seorang diri sepanjang hari terkasdang membuatnya sangat kesepian, meski ada Hannah – pelayan setia keluarga, yang sibuk mengerjakan aneka tugas rumah tangga.

Kehidupan keluarga March mulai berubah ketika Jo berkenalan dengan tetangga baru mereka, pemuda bernama Theodore ‘Laurie’ Laurence (16 tahun). Laurie yang periang, awalnya kesepian dan lesu, terutama semenjak kematian kedua orangtuanya ia harus tinggal bersama kakeknya, Mr. Laurence yang terhormat di kalangan bangsawan. Jo yang tak kenal takut sangat mudah menjalin persahabatan dengan Laurie (yang kemudian dipanggil sebagai Teddy). Sikap Mr. Laurence yang kaku dan cukup galak pun berubah ketika berkenalan dengan anggota keluarga March. Maka aneka petualangan baru mewarnai kehidupan tokoh-tokoh dalam kisah ini. Bermain sandiwara, menyiapkan kejutan Natal, membantu orang-orang yang menderita dan membutuhkan pertolongan mereka dimana pun dan kapan pun. Kapten March yang menjalani prinsip dan keyakin selaku pendeta dan kepala keluarga, tetap berhubungan dan memberikan semangat perjuangan kepada orang-orang yang dikasihinya, meski jarak memisahkan mereka, dan peperangan masih terus berlangsung.

Ini adalah salah satu kisah yang sangat kusukai, selain Uncle Tom’s Cabin karya Harriet Beecher Stowe, dimana hampir setiap halaman tercantum ungkapan serta kutipan yang layak untuk ‘digaris-bawahi’ sebagai pengingat diri dalam menghadapi aneka hambatan dan kesulitan di kehidupan sehari-hari. Meski sarat dengan pesan-pesan moral, kisah ini jauh dari kesan membosankan, menggurui ataupun monoton. Penulis memberikan nuansa serta realita kehidupan nyata, hingga pembaca seakan-akan berada pada lokasi tempat dan waktu yang sama, saat-saat Perang Saudara merenggut nyawa ribuan manusia tak berdosa, keluarga yang ditinggalkan tetap memiliki pengharapan serta berjuang dengan cara tersendiri demi meraih masa depan masing-masing. Sebagai penggerak reformasi hak kaum wanita, penulis menekankan buah pemikirannya melalui setiap karakter dalam kisah ini.

Mudah ditebak sebagian besar latar belakang dan pengalaman dalam Little Women merupakan penjabaran kehidupan pribadi penulis. Menempatkan diri sebagai sosok Jo, yang berperan sebagai pengganti kepala keluarga tatkala sang ayah pergi menunaikan misi serta panggilan hatinya. Kisah ini telah berulang kali kubaca dan setiap kali muncul pengalaman serta kesan baru yang masih mampu memukau diriku, mungkin disebabkan manusia memang diharapkan untuk terus berkembang dan bertumbuh seiring dengan pertambahan waktu. Terlepas dari beberapa ‘kejanggalan’ akan istilah serta pemilihan kata / kalimat dalam edisi terjemahan ini, sangat kurekomendasikan bagai Anda pencinta buku, jangan lewatkan kesempatan dalam kehidupan ini untuk minimal sekali membaca ‘Little Women’ ... (^_^)

Tentang Penulis :
Louisa May Alcott lahir pada tanggal 29 November 1832 dari pasangan Amos Branson Alcott – tokoh Transendentalis terkemuka, dengan istrinya Abba May. Ia merupakan putri kedua dari empat bersaudara wanita, May, Elizabeth dan Anna Alcott. Dibesarkan di Concord, Massachusetts, mereka dididik melalui pendidikan rumah (semacam ‘home-schooling’ di jaman modern) yang memberikan minat tersendiri pada dunia buku. Semenjak kanak-kanak, Louisa sudah terpikat oleh buku, mulai dari sekedar bermain ‘pura-pura’ membaca, mencorat-coret kertas seakan-akan menulis sesuatu, hingga melahap isi perpustakaan keluarganya pada masa remaja hingga dewasa. Pergaulan sang ayah yang memungkinkan perkenalan Louisa dengan para penulis ternama, mulai dari Ralph Waldo Emerson, Henri Thoreau hingga Nathaniel Hawthorne, menanamkan pengaruh yang cukup kuat untuk mendorong dirinya menekuni dunia menulis.

Salah  satu sikap ayahnya sebagai ‘anti-materialisme’ ditunjang sikap ceroboh dalam mengelola keuangan, membuat keluarga Alcott sering mengalami kesulitan keuangan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, keempat putri Alcott semenjak kecil sudah dibiasakan untuk memiliki keahlian serta kemampuan dalam menjahit , mengajar, serta tugas-tugas rumah tangga, dimana kemampuan tersebut dapat dimanfaatkan untuk memperoleh upah bayaran dari pihak-pihak yang membutuhkan. Di sela-sela kesibukan membantu keuangan keluarganya, Louisa tetap menjalani ‘kesukaannya’ dalam membaca dan menulis. Puncak perubahan pada kehidupannya, dimulai pada tahun 1858 setelah kematian adiknya Lizzie akibat penyakit, disertai pernikahan kakaknya Anna, membuat Louisa mulai fokus dan mencurahkan waktu serta perhatiannya untuk menulis dan mengirimkan pada majalah serta agen penerbitan.

Berbagai karya cerita pendek, artikel dan puisi mulai bermunculan dan namanya mulai dikenal oleh kalangan pembaca dan penulis. Sebagai seorang wanita, Louisa memiliki pandangan bebas dan liberal menyangkut hak serta kewajiban wanita. Ia memilih untuk tidak buru-buru menikah selayaknya gadis seusianya, bahkan memilih mencari pekerjaan yang bisa memberikan pengalaman baru dalam kehidupannya. Pada tahun 1862, ia mendaftarkan diri sebagai relawan perawat di sebuah rumah sakit swasta di Washington di masa Perang Saudara, mampu bertahan selama 6 minggu sebelum ia harus pulang ke rumah keluarganya karena demam thypoid yang menyerang tubuhnya. Pengalaman jauh dari keluarga ini memberikan bahan bagi penulisan buku pertamanya yang berjudul ‘Hospital Sketches’ – yang cukup sukses di kalangan pembaca.

Selain itu Louisa juga melakukan berbagai percobaan dengan menulis karya menggunakan gaya serta pendekatan yang berbeda-beda, sebagian menggunakan nama samaran. Mulai dari kisah romansa drama hingga kisah horor yang seram dan menegangkan. Penggemar mengenalnya sebagai Flora Fairfield, ada pula yang menjadi penggemar A.M. Barnard – penulis ‘Behind A Mask’ sebuah kisah horor yang mendulang kesuksesan dikalangan pecinta misteri. Hingga pada tahun 1868, dengan menggunakan nama aslinya, Louisa menyajikan kisah klasik yang menempati posisi puncak dan penggemar dunia melalui ‘Little Women’. Hal ini merupakan titik tolak dalam karirnya yang mampu memberikan pemasukan dalam jumlah besar bagi dirinya serta keluarga. 

Semenjak itu, karya-karya lainnya semakin dicari oleh para penggemarnya. Dari An Old-Fashioned Girl (1870) ; Little Men (1871) ; Eight Cousins (1875) ; Rose In Bloom (1876) ; Jo’s Boys (1866) ; dan lain-lain. Selain berkutat dengan dunia tulis-menulis, hal lain yang menjadi perhatian utama Louisa adalah memperjuangkan hak kaum wanita, yang dimulai ketika ia pergi ke Eropa pada tahun 1871, dan ketika kembali ke Boston, ia terlibat langsung dalam gerakan hak kaum wanita untuk memilih dan pembatasan dalam undang-undang minuman keras. Louisa meninggal pada tahun 1888 di Boston.

[ more about the author and related works, just check at here : Louisa May Alcott | on Gutenberg | on Goodreads | on IMDb ]



Best Regards,

No comments :

Post a Comment