Judul Asli : LITTLE WOMEN
Copyright ©
by Louisa May Alcott, 1868
Penerbit Serambi
Alih Bahasa : Rahmani Astuti
Editor : Moh. Sidik Nugraha
Proofreader & Lay-out : Eldani & Siti
Qomariyah
Desain Sampul : Onymarga
Cetakan I : Juli 2009 ; 492hlm ; ISBN 978-979-024-165-7
Rate : 5 of 5
Ini adalah kisah keluarga March yang terdiri
dari pasangan March serta keempat putrinya, Margaret ‘Meg’ (16 tahun),
Josephine ‘Jo’ (15 tahun), Elizabeth ‘Beth’ (13 tahun) dan si bungsu Amy. Kisah
dibuka dengan adegan menarik tentang dialog keempat gadis yang mengeluh karena
menjelang Perayaan Natal, suasana gembira dan bahagia tak mampu mereka rasakan
akibat kepergian ayah tercinta, yang berangkat memenuhi panggilan hati untuk
membantu sesamanya, berjuang membela kebenaran dalam Perang Saudara (American
Civil War). Di samping suasana peperangan yang tak memungkinkan mereka untuk
‘berfoya-foya’ – kondisi keuangan keluarga juga tak menunjang keinginan
tersebut.
Namun hal ini segera berubah saat sang ibu
yang dikenal dengan panggilan sayang ‘Marmee’ – mampu mengetuk hati serta
pikiran mereka untuk bersyukur atas kondisi yang meraka jalani. Sang ibu dengan
bijak mengingatkan akan kegembiraan saat mereka melakukan permainan dari
‘Pilgrim Progress’ (salah satu adaptasi terbaik karya dari John Bunyan). Bahwa
kebahagiaan yang diraih saat mereka mencapai puncak, bukanlah dinilai dari
kesuksesan belaka melainkan proses serta kesulitan yang dijalani dalam
‘pendakian’ menuju puncak bukit sembari membawa aneka beban di pundak
masing-masing. Sebuah penuturan yang disampaikan dengan penuh kelembutan namun
cukup tajam untuk mengingatkan manusia pada rasa bersyukur serta pengharapan.
“Kita tidak pernah terlalu tua untuk ini, sayangku, karena ini permainan yang selalu kita mainkan sepanjang waktu dengan satu atau lain cara. Beban kita ada di sini, jalan kita terbentang di depan, kerinduan akan kebaikan dan kebahagiaan menjadi petunjuk yang akan memandu kita melewati berbagai kesulitan dan kesalahan menuju perdamaian, yaitu Kota Surga yang sejati. Nah, anak-anakku para kelana kecil, coba kalian mulai lagi, bukan dalam permainan, tapi dengan sungguh-sungguh, dan lihat sejauh mana kalian sanggup melangkah sembari membawa beban kalian masing-masing hingga ayah pulang kembali bersama kita.” [ ~ Little Women | p. 29 ]
Sebuah pembuka kisah yang sangat menyentuh,
mengawali perjalanan kehidupan masing-masing anggota keluarga March.
Sebagaimana layaknya manusia, meski memiliki keinginan untuk selalu berbuat
yang terbaik, acapkali muncul gangguan yang mendorong munculnya kelemahan hati
serta pikiran. Meg sebagai gadis tertua, pernah mengecap kehidupan yang berbeda
saat keluarga mereka cukup berada, maka tatkala kondisi ekonomi menuntut mereka
untuk melakukan perubahan drastis, ia sering teringat akan kenyamanan serta
kemewahan yang sempat dinikmati. Apalagi sebagai gadis remaja yang gemar
bersenang-senang, ia harus menahan diri demi melihat suasana kehidupan keluarga
kaya dimana ia bekerja sebagai pengajar anak-anak mereka.
Sedangkan Jo yang tomboi dan periang,
menyukai kebebasan serta mengisi waktunya dengan membaca, melamun, bermimpi dan
menulis. Namun alih-alih ia harus menghabiskan waktu menemani Bibi March –
kerabat mereka yang kaya raya namun cukup pelit dan hanya tertarik pada hal-hal
yang berhubungan dengan status sosial di kalangan terhormat. Amy si bungsu,
menyukai seni menggambar, namun ia harus melepas keinginannya tatkala berada di
dalam kelas untuk mengikuti pelajaran umum. Dan Beth yang manis dan pendiam,
karena kondisi tubuhnya yang lemah, harus tetap tinggal di rumah tatkala setiap
anggota keluarga menunaikan tugas masing-masing. Beth tak pernah keberatan
karena ia sangat pemalu, namun berada seorang diri sepanjang hari terkasdang
membuatnya sangat kesepian, meski ada Hannah – pelayan setia keluarga, yang
sibuk mengerjakan aneka tugas rumah tangga.
Kehidupan keluarga March mulai berubah ketika
Jo berkenalan dengan tetangga baru mereka, pemuda bernama Theodore ‘Laurie’
Laurence (16 tahun). Laurie yang periang, awalnya kesepian dan lesu, terutama
semenjak kematian kedua orangtuanya ia harus tinggal bersama kakeknya, Mr.
Laurence yang terhormat di kalangan bangsawan. Jo yang tak kenal takut sangat
mudah menjalin persahabatan dengan Laurie (yang kemudian dipanggil sebagai
Teddy). Sikap Mr. Laurence yang kaku dan cukup galak pun berubah ketika
berkenalan dengan anggota keluarga March. Maka aneka petualangan baru mewarnai
kehidupan tokoh-tokoh dalam kisah ini. Bermain sandiwara, menyiapkan kejutan
Natal, membantu orang-orang yang menderita dan membutuhkan pertolongan mereka
dimana pun dan kapan pun. Kapten March yang menjalani prinsip dan keyakin selaku
pendeta dan kepala keluarga, tetap berhubungan dan memberikan semangat
perjuangan kepada orang-orang yang dikasihinya, meski jarak memisahkan mereka,
dan peperangan masih terus berlangsung.
Ini adalah salah satu kisah yang sangat
kusukai, selain Uncle Tom’s Cabin karya Harriet Beecher Stowe, dimana hampir
setiap halaman tercantum ungkapan serta kutipan yang layak untuk
‘digaris-bawahi’ sebagai pengingat diri dalam menghadapi aneka hambatan dan
kesulitan di kehidupan sehari-hari. Meski sarat dengan pesan-pesan moral, kisah
ini jauh dari kesan membosankan, menggurui ataupun monoton. Penulis memberikan
nuansa serta realita kehidupan nyata, hingga pembaca seakan-akan berada pada
lokasi tempat dan waktu yang sama, saat-saat Perang Saudara merenggut nyawa
ribuan manusia tak berdosa, keluarga yang ditinggalkan tetap memiliki
pengharapan serta berjuang dengan cara tersendiri demi meraih masa depan
masing-masing. Sebagai penggerak reformasi hak kaum wanita, penulis menekankan
buah pemikirannya melalui setiap karakter dalam kisah ini.
Mudah ditebak sebagian besar latar belakang
dan pengalaman dalam Little Women
merupakan penjabaran kehidupan pribadi penulis. Menempatkan diri sebagai sosok
Jo, yang berperan sebagai pengganti kepala keluarga tatkala sang ayah pergi
menunaikan misi serta panggilan hatinya. Kisah ini telah berulang kali kubaca
dan setiap kali muncul pengalaman serta kesan baru yang masih mampu memukau
diriku, mungkin disebabkan manusia memang diharapkan untuk terus berkembang dan
bertumbuh seiring dengan pertambahan waktu. Terlepas dari beberapa
‘kejanggalan’ akan istilah serta pemilihan kata / kalimat dalam edisi
terjemahan ini, sangat kurekomendasikan bagai Anda pencinta buku, jangan
lewatkan kesempatan dalam kehidupan ini untuk minimal sekali membaca ‘Little Women’ ... (^_^)
Tentang Penulis :
Louisa May Alcott lahir pada tanggal 29
November 1832 dari pasangan Amos Branson Alcott – tokoh Transendentalis
terkemuka, dengan istrinya Abba May. Ia merupakan putri kedua dari empat
bersaudara wanita, May, Elizabeth dan Anna Alcott. Dibesarkan di Concord,
Massachusetts, mereka dididik melalui pendidikan rumah (semacam
‘home-schooling’ di jaman modern) yang memberikan minat tersendiri pada dunia
buku. Semenjak kanak-kanak, Louisa sudah terpikat oleh buku, mulai dari sekedar
bermain ‘pura-pura’ membaca, mencorat-coret kertas seakan-akan menulis sesuatu,
hingga melahap isi perpustakaan keluarganya pada masa remaja hingga dewasa.
Pergaulan sang ayah yang memungkinkan perkenalan Louisa dengan para penulis
ternama, mulai dari Ralph Waldo Emerson, Henri Thoreau hingga Nathaniel
Hawthorne, menanamkan pengaruh yang cukup kuat untuk mendorong dirinya menekuni
dunia menulis.
Salah
satu sikap ayahnya sebagai ‘anti-materialisme’ ditunjang sikap ceroboh
dalam mengelola keuangan, membuat keluarga Alcott sering mengalami kesulitan
keuangan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, keempat putri Alcott semenjak
kecil sudah dibiasakan untuk memiliki keahlian serta kemampuan dalam menjahit ,
mengajar, serta tugas-tugas rumah tangga, dimana kemampuan tersebut dapat
dimanfaatkan untuk memperoleh upah bayaran dari pihak-pihak yang membutuhkan.
Di sela-sela kesibukan membantu keuangan keluarganya, Louisa tetap menjalani
‘kesukaannya’ dalam membaca dan menulis. Puncak perubahan pada kehidupannya,
dimulai pada tahun 1858 setelah kematian adiknya Lizzie akibat penyakit,
disertai pernikahan kakaknya Anna, membuat Louisa mulai fokus dan mencurahkan
waktu serta perhatiannya untuk menulis dan mengirimkan pada majalah serta agen
penerbitan.
Berbagai karya cerita pendek, artikel dan
puisi mulai bermunculan dan namanya mulai dikenal oleh kalangan pembaca dan
penulis. Sebagai seorang wanita, Louisa memiliki pandangan bebas dan liberal
menyangkut hak serta kewajiban wanita. Ia memilih untuk tidak buru-buru menikah
selayaknya gadis seusianya, bahkan memilih mencari pekerjaan yang bisa
memberikan pengalaman baru dalam kehidupannya. Pada tahun 1862, ia mendaftarkan
diri sebagai relawan perawat di sebuah rumah sakit swasta di Washington di masa
Perang Saudara, mampu bertahan selama 6 minggu sebelum ia harus pulang ke rumah
keluarganya karena demam thypoid yang
menyerang tubuhnya. Pengalaman jauh dari keluarga ini memberikan bahan bagi
penulisan buku pertamanya yang berjudul ‘Hospital Sketches’ – yang cukup
sukses di kalangan pembaca.
Selain itu Louisa juga melakukan berbagai
percobaan dengan menulis karya menggunakan gaya serta pendekatan yang
berbeda-beda, sebagian menggunakan nama samaran. Mulai dari kisah romansa drama
hingga kisah horor yang seram dan menegangkan. Penggemar mengenalnya sebagai
Flora Fairfield, ada pula yang menjadi penggemar A.M. Barnard – penulis ‘Behind
A Mask’ sebuah kisah horor yang mendulang kesuksesan dikalangan pecinta
misteri. Hingga pada tahun 1868, dengan menggunakan nama aslinya, Louisa
menyajikan kisah klasik yang menempati posisi puncak dan penggemar dunia
melalui ‘Little Women’. Hal ini merupakan titik tolak dalam karirnya
yang mampu memberikan pemasukan dalam jumlah besar bagi dirinya serta
keluarga.
Semenjak itu, karya-karya lainnya semakin
dicari oleh para penggemarnya. Dari An Old-Fashioned Girl (1870) ; Little
Men (1871) ; Eight Cousins (1875) ; Rose
In Bloom (1876) ; Jo’s Boys (1866) ; dan lain-lain.
Selain berkutat dengan dunia tulis-menulis, hal lain yang menjadi perhatian
utama Louisa adalah memperjuangkan hak kaum wanita, yang dimulai ketika ia
pergi ke Eropa pada tahun 1871, dan ketika kembali ke Boston, ia terlibat
langsung dalam gerakan hak kaum wanita untuk memilih dan pembatasan dalam
undang-undang minuman keras. Louisa meninggal pada tahun 1888 di Boston.
[ more about the author and related works,
just check at here : Louisa May Alcott | on Gutenberg | on Goodreads | on IMDb ]
Best Regards,
No comments :
Post a Comment