Books
“ A ROOM WITH A VIEW”
Judul Asli : A ROOM WITH A VIEW
Copyright © E.M. Forster
Penerbit Noura Books
Alih Bahasa : Reni Indardini
Proofreader : Lani Rahmah
Layout : CDDC
Desain & ilustrasi sampul :
Fahmi Ilmansyah
Cetakan I : Mei 2015 ; 360 hlm
; ISBN 978-602-0989-77-8
Harga Normal : Rp. 59.000,-
Rate :
3 of 5
“Kau harus terjun sambil menggigil kedinginan ke tengah-tengah medan tempur yang membutuhkan kehangatan, untuk mengurai keruwetan yang kau buat sendiri. Sebab kita bukan hanya memperjuangkan cinta dan kesenangan sendiri, melainkan juga kebenaran. Karena kebenaran itu penting.”
Ruwet bagai benang kusut !
Demikian gambaran yang kuperoleh usai menuntaskan kisah ini. Jangan salah
sangka, karena problematika yang terjadi sebenarnya cukup sederhana, namun
berkat ‘kepiawaian’ sang penulis, kisah menyebabkan terjalinnya rangkaian
benang kusut yang memenuhi benakku dari awal hingga menjelang akhir kisah.
Mengapa kisah cinta yang polos bisa menjadi situasi yang lebih kompleks ?
Tatkala kebenaran disembunyikan, dan alih-alih berbicara jujur, kebohongan demi
kebohongan muncul hingga tiada yang tersisa selain hati nurani yang tersiksa
sepanjang waktu ...
Kisah dimulai saat Miss Lucy
Honeychurch bersama saudara sepupunya, Miss Charlotte Bartlett, berlibur di
Italia, dan mendapati kamar yang tersedia tidak sesuai dengan harapan mereka.
Sang pemilik Wisma Bertolini yang menjanjikan pemandangan indah nan spektakuler
dari kamar tidur tamunya, diangggap tidak menepati janji. Namun sebelum kedua
tamu ini melakukan protes langsung, mereka dikejutkan dengan penawaran ‘unik’
dari sepasang pria yang juga menjadi tamu di penginapan tersebut. Tamu itu
adalah Mr. Emerson dan putranya, George, yang menawarkan agar mereka bertukar
kamar, karena pemandangan yang dicari tersedia di kamar mereka.
Nah, bukankah itu hal yang
wajar dan menunjukkan kemurahan hati kedua pria itu ? Justru drama dan konflik
dimulai pada saat penawaran itu dilakukan. Bukan niat baik pasangan Emerson
yang menjadi fokus pembicaraan, melainkan ‘cara penyampaian’ yang bisa
dikatakan ‘blak-blakan’ ternyata dianggap sangat tidak sopan dan memalukan bagi
kalangan terhormat (yang kebetulan diakui sebagai status para tamu yang tinggal
di penginapan tersebut). Lucy yang cukup polos dan terbuka, tersentuh dengan
itikad baik pasangan Emerson, namun ia harus mematuhi norma-norma kesopanan
yang berlaku dan menolak tawaran tersebut (yang telah diwakili oleh Miss
Bartlett saat menolak dengan tegas).
Syukurlah berkat campur tangan
Mr. Beebe – pendeta kenalan mereka yang periang, hubungan antara keluarga
Emerson dengan kedua gadis itu bisa dijembatani dengan lebih luwes. Cukup
menarik untuk disimak bagaimana lingkup sosial secara otomatis ‘mengucilkan’
keluarga Emerson karena dianggap tidak beradab karena berbicara apa adanya.
Melalui sudut pandang Lucy, pembaca dibawa pada sebuah kesadaran bahwa
sebenarnya Mr. Emerson merupakan karakter yang ramah dan baik hati, namun
kebenaran ini sayangnya tidak berani ditindak-lanjuti secara terbuka oleh Lucy
karena tekanan dari masyarakat di sekelilingnya.
Jika Anda bergaul dengan
orang-orang yang dikucilkan, secara otomatis Anda menempatkan diri pada posisi
yang salah pula, yang ironisnya justru tidak melakukan kejahatan selain
mengatakan kebenaran. Penulis juga menyajikan kerumitan baru dengan hadirnya
sosok Cecil Vye – kenalan lama keluarga Honeychurch dan menjadi tunangan Lucy
dalam waktu relatif singkat. Lucy yang sebenarnya ‘terlibat’ hubungan unik
dengan George Emerson, memilih menolak kejujuran hatinya dan menerima kehadiran
Cecil, yang entah mengapa oleh penulis justru digambarkan memiliki watak dan
sifat yang nyaris sama dengan Mr. Emerson.
Cecil adalah pria yang menawan
dari penampilan luar, namun hatinya tidak pernah tertarik pada manusia lain,
hingga interaksi yang ia jalani sebatas sejauh mana ia pandang berguna bagi
dirinya. Sikap Cecil yang juga terbuka menyuarakan hal-hal yang tidak berkenan
dengan dirinya (yang cukup banyak jika disinggung) anehnya ditolerir oleh Lucy.
Dibandingkan perbuatan Mr. Emerson yang atas dasar kejujuran dan tulus dari
hatinya, maka Cecil lebih bisa dikatakan kasar dan egois karena hanya
memikirkan dirinya sendiri. Lucy yang akhirnya membenci sikap Cecil, bahkan
mengecam Charlotte Bartlett karena tidak jujur, akhirnya justru terjebak dalam
kebohongan-kebohongan kecil yang ia sendiri lakukan sepanjang waktu.
Jujur, kisah ini bukan tipikal
bacaan favoritku, karena berputar-putar, berbelit-belit dan entah mengapa edisi
terjemahan ini terasa kurang nyaman untuk dinikmati dengan pilihan-pilihan kosa
kata yang terasa kurang pas. Bahkan karakter-karakter yang ‘bersilat-lidah’
sepanjang kisah ini, tak mampu menggugah rasa simpati, dengan perkecualian
sosok Mr. Emerson yang bisa dikatakan satu-satunya yang berpikiran ‘waras’ dan
mampu mengungkapkan kebenaran. Namun harus diakui, gaya penuturan penulis yang
cukup menggelitik dengan parodi adegan-adegan yang jelas-jelas mencemooh
manusia-manusia yang berlindung di balik doktrin kebenaran dan kesopanan,
disertai sitiran-sitiran yang langsung mengena dalam bentuk satire (yang
anehnya diungkapkan dengan kalimat ‘berbunga-bunga’) menunjukkan kontradiktif
yang berkecamuk dalam benak sang penulis.
[ source ] |
Melalui karakter Lucy
Honeychurch, penulis menunjukkan betapa rumitnya aturan pergaulan sosial
masyarakat konvensional melawan perkembangan arus sikap memberontak dan
kebebasan untuk mengeluarkan pikiran yang terkadang tidak mampu dipahami
sebagai bentuk kejujuran atau ‘kurang-ajar’ karena berkesan ‘blak-blakan’.
Ibarat menonton sajian sandiwara yang hidup melalui masing-masing karakter,
perpaduan antara romantisme dan komedi yang menyentuh. Walau nyaris sepanjang
kisah penulis menekankan pentingnya ‘kejujuran’ dan melakukan ‘apa yang benar’ –
alih-alih memilih cara yang cukup ‘blak-blakan’ sebagaimana karakter pasangan
Emerson, penulis justru menyajikan rangkaian kisah yang cukup lembut sekaligus
tajam pada pokok-pokok permasalahan, dan ini bukan sesuatu yang mudah.
[ source ] |
Salah satu adegan yang mampu
membuatku tersenyum simpul, ketika terjadi ‘kecelakaan’ saat seorang pendeta
sok alim berusaha mengesankan diri di hadapan Lucy, berceramah tentang
moralitas sedangkan kusir kereta dibelakangnya (yang lucunya diberi nama
Phaethon) sedang berasyik-masyuk dengan ‘adik perempuannya’ yang bernama
Persephone (cek mitologi Yunani untuk mengetahui lebih jelas tentang dua
karakter ini) .... that’s so hillarious hahaha, sebuah ironi yang dikemas dalam
komedi romansa. Terlepas dari kerumitan kisah romansa, pesan kuat yang muncul
sepanjang kisah ini, bahwa moralitas tidak bisa diukur dari sekedar kejujuran
belaka, jika menuruti aturan main dalam pergaulan sosial. Namun mana yang
hendak Anda pilih, diterima dalam pergaulan sosial yang penuh dengan
kepura-puraan dan sikap munafik atau hidup lega tanpa beban di hati nurani
walau harus terkucil dari sosialisasi masyarakat ?
~ A Room With A View ( 1985 ) ~ |
“Mr. Emerson, dia memiliki keunggulan – apabila dapat disebut keunggulan- yaitu tidak bisa berbasa-basi. Yang dia katakan persis sama dengan yang dia pikirkan. Dia sama sekali tidak tahu sopan santun dan tata krama. Bukan berarti bahwa dia kurang ajar, tapi dia gemar menyiarkan isi pikirannya dan tidak bisa bersikap diplomatis. Memang sukar – untuk memahami orang-orang yang berbicara apa adanya.”
[
more about this author & relted works, just check at here : E.M. Forster | on Goodreads
| on Wikipedia | on IMDb ]
Best Regards,
@HobbyBuku
No comments :
Post a Comment