WELCOME

For everyone who love classical stories
from many centuries until millenium
with some great story-teller around the world
these is just some compilation of epic-stories
that I've read and loved so many times
... an everlasting stories and memories ...

Translate

Monday, September 7, 2015

Books "A ROOM WITH A VIEW"

Books “ A ROOM WITH A VIEW”
Judul Asli : A ROOM WITH A VIEW
Copyright © E.M. Forster
Penerbit Noura Books
Alih Bahasa : Reni Indardini
Proofreader : Lani Rahmah
Layout : CDDC
Desain & ilustrasi sampul : Fahmi Ilmansyah
Cetakan I : Mei 2015 ; 360 hlm ; ISBN 978-602-0989-77-8
Harga Normal : Rp. 59.000,-
Rate : 3 of 5
“Kau harus terjun sambil menggigil kedinginan ke tengah-tengah medan tempur yang membutuhkan kehangatan, untuk mengurai keruwetan yang kau buat sendiri. Sebab kita bukan hanya memperjuangkan cinta dan kesenangan sendiri, melainkan juga kebenaran. Karena kebenaran itu penting.”
Ruwet bagai benang kusut ! Demikian gambaran yang kuperoleh usai menuntaskan kisah ini. Jangan salah sangka, karena problematika yang terjadi sebenarnya cukup sederhana, namun berkat ‘kepiawaian’ sang penulis, kisah menyebabkan terjalinnya rangkaian benang kusut yang memenuhi benakku dari awal hingga menjelang akhir kisah. Mengapa kisah cinta yang polos bisa menjadi situasi yang lebih kompleks ? Tatkala kebenaran disembunyikan, dan alih-alih berbicara jujur, kebohongan demi kebohongan muncul hingga tiada yang tersisa selain hati nurani yang tersiksa sepanjang waktu ...


Kisah dimulai saat Miss Lucy Honeychurch bersama saudara sepupunya, Miss Charlotte Bartlett, berlibur di Italia, dan mendapati kamar yang tersedia tidak sesuai dengan harapan mereka. Sang pemilik Wisma Bertolini yang menjanjikan pemandangan indah nan spektakuler dari kamar tidur tamunya, diangggap tidak menepati janji. Namun sebelum kedua tamu ini melakukan protes langsung, mereka dikejutkan dengan penawaran ‘unik’ dari sepasang pria yang juga menjadi tamu di penginapan tersebut. Tamu itu adalah Mr. Emerson dan putranya, George, yang menawarkan agar mereka bertukar kamar, karena pemandangan yang dicari tersedia di kamar mereka.

Nah, bukankah itu hal yang wajar dan menunjukkan kemurahan hati kedua pria itu ? Justru drama dan konflik dimulai pada saat penawaran itu dilakukan. Bukan niat baik pasangan Emerson yang menjadi fokus pembicaraan, melainkan ‘cara penyampaian’ yang bisa dikatakan ‘blak-blakan’ ternyata dianggap sangat tidak sopan dan memalukan bagi kalangan terhormat (yang kebetulan diakui sebagai status para tamu yang tinggal di penginapan tersebut). Lucy yang cukup polos dan terbuka, tersentuh dengan itikad baik pasangan Emerson, namun ia harus mematuhi norma-norma kesopanan yang berlaku dan menolak tawaran tersebut (yang telah diwakili oleh Miss Bartlett saat menolak dengan tegas).

Syukurlah berkat campur tangan Mr. Beebe – pendeta kenalan mereka yang periang, hubungan antara keluarga Emerson dengan kedua gadis itu bisa dijembatani dengan lebih luwes. Cukup menarik untuk disimak bagaimana lingkup sosial secara otomatis ‘mengucilkan’ keluarga Emerson karena dianggap tidak beradab karena berbicara apa adanya. Melalui sudut pandang Lucy, pembaca dibawa pada sebuah kesadaran bahwa sebenarnya Mr. Emerson merupakan karakter yang ramah dan baik hati, namun kebenaran ini sayangnya tidak berani ditindak-lanjuti secara terbuka oleh Lucy karena tekanan dari masyarakat di sekelilingnya.

Jika Anda bergaul dengan orang-orang yang dikucilkan, secara otomatis Anda menempatkan diri pada posisi yang salah pula, yang ironisnya justru tidak melakukan kejahatan selain mengatakan kebenaran. Penulis juga menyajikan kerumitan baru dengan hadirnya sosok Cecil Vye – kenalan lama keluarga Honeychurch dan menjadi tunangan Lucy dalam waktu relatif singkat. Lucy yang sebenarnya ‘terlibat’ hubungan unik dengan George Emerson, memilih menolak kejujuran hatinya dan menerima kehadiran Cecil, yang entah mengapa oleh penulis justru digambarkan memiliki watak dan sifat yang nyaris sama dengan Mr. Emerson.

Cecil adalah pria yang menawan dari penampilan luar, namun hatinya tidak pernah tertarik pada manusia lain, hingga interaksi yang ia jalani sebatas sejauh mana ia pandang berguna bagi dirinya. Sikap Cecil yang juga terbuka menyuarakan hal-hal yang tidak berkenan dengan dirinya (yang cukup banyak jika disinggung) anehnya ditolerir oleh Lucy. Dibandingkan perbuatan Mr. Emerson yang atas dasar kejujuran dan tulus dari hatinya, maka Cecil lebih bisa dikatakan kasar dan egois karena hanya memikirkan dirinya sendiri. Lucy yang akhirnya membenci sikap Cecil, bahkan mengecam Charlotte Bartlett karena tidak jujur, akhirnya justru terjebak dalam kebohongan-kebohongan kecil yang ia sendiri lakukan sepanjang waktu.

Jujur, kisah ini bukan tipikal bacaan favoritku, karena berputar-putar, berbelit-belit dan entah mengapa edisi terjemahan ini terasa kurang nyaman untuk dinikmati dengan pilihan-pilihan kosa kata yang terasa kurang pas. Bahkan karakter-karakter yang ‘bersilat-lidah’ sepanjang kisah ini, tak mampu menggugah rasa simpati, dengan perkecualian sosok Mr. Emerson yang bisa dikatakan satu-satunya yang berpikiran ‘waras’ dan mampu mengungkapkan kebenaran. Namun harus diakui, gaya penuturan penulis yang cukup menggelitik dengan parodi adegan-adegan yang jelas-jelas mencemooh manusia-manusia yang berlindung di balik doktrin kebenaran dan kesopanan, disertai sitiran-sitiran yang langsung mengena dalam bentuk satire (yang anehnya diungkapkan dengan kalimat ‘berbunga-bunga’) menunjukkan kontradiktif yang berkecamuk dalam benak sang penulis.

[ source ]
Melalui karakter Lucy Honeychurch, penulis menunjukkan betapa rumitnya aturan pergaulan sosial masyarakat konvensional melawan perkembangan arus sikap memberontak dan kebebasan untuk mengeluarkan pikiran yang terkadang tidak mampu dipahami sebagai bentuk kejujuran atau ‘kurang-ajar’ karena berkesan ‘blak-blakan’. Ibarat menonton sajian sandiwara yang hidup melalui masing-masing karakter, perpaduan antara romantisme dan komedi yang menyentuh. Walau nyaris sepanjang kisah penulis menekankan pentingnya ‘kejujuran’ dan melakukan ‘apa yang benar’ – alih-alih memilih cara yang cukup ‘blak-blakan’ sebagaimana karakter pasangan Emerson, penulis justru menyajikan rangkaian kisah yang cukup lembut sekaligus tajam pada pokok-pokok permasalahan, dan ini bukan sesuatu yang mudah.

[ source ]
Salah satu adegan yang mampu membuatku tersenyum simpul, ketika terjadi ‘kecelakaan’ saat seorang pendeta sok alim berusaha mengesankan diri di hadapan Lucy, berceramah tentang moralitas sedangkan kusir kereta dibelakangnya (yang lucunya diberi nama Phaethon) sedang berasyik-masyuk dengan ‘adik perempuannya’ yang bernama Persephone (cek mitologi Yunani untuk mengetahui lebih jelas tentang dua karakter ini) .... that’s so hillarious hahaha, sebuah ironi yang dikemas dalam komedi romansa. Terlepas dari kerumitan kisah romansa, pesan kuat yang muncul sepanjang kisah ini, bahwa moralitas tidak bisa diukur dari sekedar kejujuran belaka, jika menuruti aturan main dalam pergaulan sosial. Namun mana yang hendak Anda pilih, diterima dalam pergaulan sosial yang penuh dengan kepura-puraan dan sikap munafik atau hidup lega tanpa beban di hati nurani walau harus terkucil dari sosialisasi masyarakat ?

 ~ A Room With A View ( 1985 ) ~
“Mr. Emerson, dia memiliki keunggulan – apabila dapat disebut keunggulan- yaitu tidak bisa berbasa-basi. Yang dia katakan persis sama dengan yang dia pikirkan. Dia sama sekali tidak tahu sopan santun dan tata krama. Bukan berarti bahwa dia kurang ajar, tapi dia gemar menyiarkan isi pikirannya dan tidak bisa bersikap diplomatis. Memang sukar – untuk memahami orang-orang yang berbicara apa adanya.”
[ more about this author & relted works, just check at here : E.M. Forster | on Goodreads | on Wikipedia | on IMDb ]

Best Regards,

@HobbyBuku

No comments :

Post a Comment